32. Renjana

8 3 0
                                    

Hari senin sore itu setelah mengantar Jihan pulang, seperti rencana awalnya bahwa dia akan menuju kost setelah kelas selesai. Dua minggu ditinggalkan, ruangan itu cukup berdebu, dan kegiatan Haidar sebelum mandi adalah bersih-bersih. 

Kemoceng, kanebo, lap, sapu, dan pengki, percaya lah—dari semua itu hanya sapu dan pengki yang dipakai. Karena setelah kegiatan bersih-bersih berlangsung, banyak sekali hal yang harus dibersihkan dan itu membuat rasa malas muncul seketika. Jadi anak itu hanya membersihkan yang sering bersentuhan denganya.

Jadwalnya hari ini belum selesai, seperti yang Tama katakan— ia harus memikirkan konsekuensi dari perjanjiannya dengan Sagara. Ia pikir, ia tak bisa memikirkan itu sendiri, jadi dia akan mengajak teman yang lain untuk kumpul di basecamp. Dan dia mengecualikan Tama dari diskusi yang akan dilakukannya sebentar lagi.

Sesuai jam yang tentukan Haidar, beberapa orang sudah berdatangan, termasuk dirinya yang hanya menggunakan kolor itu.

"Kita semua tau, rencana waktu itu gak ada efek jera nya sama sekali buat Sagara." Haidar mulai berbicara saat orang di sana mulai berhenti berdatangan.

"Meski dia hampir mati, dia masih bisa natap gue." lipatan kertas keluar dari saku kolor milik Haidar.

"Surat perjanjian," ia mulai membaca isi surat tersebut. Semua orang mendengarkan dengan hikmat, hingga sampailah ia pada akhir surat.

"Tertanda, Sagara dan Haidar," kertas itu kembali dilipat. "Menurut kalian, gimana?"

Setelah pertanyaan itu terlempar, yang terdengah oleh Haidar adalah helaan napas dengan air muka yang terlihat berpikir keras.

"Urang.. dulu pernah gitu," Juan bersuara. "Tapi abis itu disidang sama mang Parta. Kalau maneh yang lakuin, mana mungkin kita bisa nyidang."

"Bener kata Juan, kita udah lama gak ikut gituan semenjak terakhir kali Juan hampir kena, untung aja bisa lolos. Resiko nya gede." Jaya menimpali.

"Maneh naha gak nanya kita dulu sih?" Teja turut angkat bicara, "Setelah ditanda tangan baru ngajak diskusi, percuma lah.."

Semua oang di sana setuju dengan Teja, begitu pun Haidar. Yang ada dipikirannya saat menyetujui itu hanya—Tama terbebas dari segala bentuk ancaman Sagara, tak ada yang lain.

"Urang tebak, pasti tawaran yang Sagara ajuin ada kaitannya sama Tama," Diki mengurut dagu.

Sambil melipat tangan, Bian tersenyum sarkas. "Pasti lah, emang alasan dia gabung ke sini apa? Kalau bukan Tama."

"Menurut urang ya.. maneh gak usah lagi mikirin Tama yang diganggu sama Sagara, dia udah bisa jaga diri."

"Bener kata Dudung, bukanya dulu maneh bilang bahwa Tama berantem sama Sagara, terus maneh juga kena pukul sama dia. Artinya apa? Dia udah gak perlu dilindungi gak sih?" kalimat Teja lagi-lagi memberi Haidar sebuah pencerahan.

"Yang harusnya dilindungi itu Maung, di Sukabumi tuh," celetukan Diki sanggup membuat suasana diskusi itu menghangat dengan gelak tawa.

"Bener, kalau punah bahaya Jawa Barat teu boga maung.." 

"Heeuh, menya maung Bandung ek diganti jadii piit Bandung.."

Dibalik tawa ini, malam ini; Haidar dapat belajar sesuatu dari teman perkumpulannya. Seorang pemimpin tak bisa berdiri sendiri, mengambil keputusan sendiri, tanpa adanya diskusi dengan sesuatu yang ia pimpin. Meski nantinya, keputusan harus tetap dibuat olehnya— setidaknya keputusan tersebut menimalisir keliru.

Lalu besoknya Haidar harus bangun pagi, sesuai dengan pengumuman digrup kelasnya : bahwa kelas akan diadakan sedikit lebih pagi. Dan saat pengumuman itu keluar, Jihan langsung meminta bahwa tak usah menjemput.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang