13. Adilaga

22 3 1
                                    

Siang hari yang cukup terik di Ibu Kota, Haidar berjalan keluar dari rumah— tujuannya adalah rumah sahabatnya : Sarah. Sebelumnya dia sudah janjian dengan Arjuna untuk bertemu di sana. Waktu hampir satu tahun tidak sebentar tentunya, jika diperhatikan— ada banyak perubahan dari komplek tempatnya tumbuh itu. Rumah-rumah yang semakin padat contohnya.

Sampainya ia di pekarangan rumah, terlihat seperti tidak ada orang tapi pintu utama terbuka. Kepala Haidar menyembul di pintu tersebut, dia mengedarkan pandangan; tidak ada orang. Lalu terdengar suara dari arah belakang—dia pergi untuk memeriksa.

"Wei pada masak naon ieu??"

Dua wanita yang tengah bergelut dengan peralatan dapur itu menghentikan kegiatan mereka, yang satu tersenyum hangat, satu lagi mematung dengan rahang sedikit terbuka.

Mereka Sarah dan Anindira, teman Haidar saat duduk dibangku SMA. 

"Tolong jangan bilang bahwa masak-masak ini buat tu anak." Anin yang tengah berdiri dekat wastafel itu menolak pinggang.

"Buat dia An.." Sarah di depannya menjawab. "Welcome to Jakarta Haidar.." dia berjalan untuk memeluk Haidar.

Erat dan cukup lama keduanya berpelukan, celengan rindu masing-masing sudah sangat penuh. Mereka tahu setelah ini mereka harus kembali menabung— untuk itu sekarang adalah waktunya menghabiskan hal-hal yang selama ini mereka tabung.

Haidar diam-diam berdoa agar waktu di hari ini sedikit melambat, dia ingin sedikit melupakan pikirannya yang semrawut. Sebagian orang mungkin akan memilih Bandung untuk menghilangkan pikiran yang berbelit, tapi anak ini berbeda— dia ingin Jakarta dengan segala ke-semrawutan nya.

Semua berjalan sesuai harapannya, kedatangan Arjuna menambah suasana hati semakin membaik. Bercerita segala hal yang terlewati tanpa mereka— kecuali dia masuk 'geng motor' dan hampir kehilangan nyawa karenanya. Gelak tawa yang sudah lama tak ia lihat—keinginan tak masuk akal tiba-tiba muncul. Yaitu : kembali ke masa SMA.

Sementara dilain keadaan, Red Wolf tengah berkumpul dengan suasana serius. Haidar yang ditunjuk untuk memimpin mereka pergi dengan alasan sedang mempersiapkan diri. Tempat itu juga tanpa Aryaditama, manusia yang terbilang sangat dekat dengan Haidar.

"Kita ini bukan perkumpulan yang sedikit, bisa-bisanya ngasih kekuasaan ke anak yang baru gabung kemarin." Teja menyuarakan pendapatnya.

"Amang Parta pasti punya alasan.." Jaya menimpali.

"Naon Ya? Naha kita gak dikasi tau alasannya?" Teja masih dengan argumennya. "Sekarang dia pergi ke Jakarta buat yakinin diri, kata urang mah udah salah itu teh. Gimana mau tau soal Bandung kalo ada masalah dikit balik ke Jakarta?"

"Bener oge, padahal kalo mau merenung di Cikole aja." Diki ikut bersuara.

Tiba-tiba Jaya merasa bergidig. "Puyeung urang mah liatin pohon." 

"Iya da yang gak puyeung mah liatin neng Maya." Fajar tiba-tiba ingat momen di mana temannya itu hampir tidak mengedip saat pujaan hatinya melintas didepannya.

"Saratus buat maneh."

"Heup, serius dulu." lagi-lagi Teja. "Gimana?" Kini dia beralih pada Juan yang sedari tadi bungkam.

"Kita harus—"

Baru saja Juan bersuara, namun kalimatnya terhenti saat ada seseorang yang membuka pintu.

"Kenapa?" Tama kebingungan saat semua pandangan tertuju padanya.

Kini suasana semakin serius, Tama ditempatkan di posisi pusat yang terlihat oleh semu orang. Dia seperti sedang di interogasi.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang