Rasanya pulang ke rumah dengan sehat itu berbeda. Tentu saja, itu adalah perasaan Dhika yang sesungguhnya tak pernah Rafi rasakan. Tubuhnya masih terasa lemas, dan jalan pun perlu bantuan. Adhikari selalu membantunya bahkan ketika ia akan masuk ke kamar tidurnya. "Istirahat ya, nanti Ayah bantu minum obatnya." Rafi mengangguk sembari memberikan senyum pada ayahnya.
Ia mengambil ponsel yang entah sejak kapan tertinggal di dalam kamar. Tanpa perlu ditanya lagi puluhan panggilan sudah pasti ia dapati dari perempuan yang bahkan setiap hari merecokinya. Fisha, satu nama yang hadir dan entah mengapa membuat senyum Rafi mengembang.
Fisha
Lo kemana sih?
Btw, happy birthday!
Gue kangen banget heheheRafi
ThanksMatanya beralih juga pada panggilan yang dilakukan oleh oma dan opanya tiga hari yang lalu, walaupun akhirnya ia mendapat panggilan telepon melalui ponsel Adhikari. Rasanya hati Rafi menghangat, mengingat ia masih memiliki banyak orang yang peduli dengannya.
Sore itu seharusnya Rafi bisa beristirahat dengan tenang, ternyata ia tak bisa merealisasikannya. Ibunda dari Kara datang berkunjung dan ternyata akan menginap di rumahnya. Rafi tidak terlalu dekat dengan neneknya, ia selalu bersikap seperti tidak ada di rumah daripada harus bertemu dengan neneknya. Tapi sebagai cucu, apakah pantas ia melakukan itu? Hatinya tak tenang, sehingga pemuda itu memilih untuk menemui orang tua dari Kara itu.
Rafi berjalan pelan menuju ruang tamu, ia berusaha terlihat kuat karena tidak ingin membuat keluarganya repot. Pemuda itu menyunggingkan senyum dan mengamit tangan kanan neneknya, kemudian menciumnya dengan santun. "Apa kabar, nek?" genggamannya secepat kilat dilepaskan tanpa perlu menjawab pertanyaan basa basinya. Rafi sudah biasa, ia kemudian melakukan hal serupa pada Kakeknya, "Apa kabar, kek?" Sedikit berbeda memang, Kakek membuat Rafi merasa lebih nyaman. Ia dengan lembut menarik pemuda itu untuk duduk di sampingnya.
"Kakek baik, kamu gimana? Udah baikan?" tanyanya setelah melihat Rafi menarik napas sedikit lebih dalam. Tetapi pemuda itu mengangguk saja, ia tersenyum hingga suara neneknya terdengar lebih ceria.
"Haduh, cucu nenek. Sudah sehat, sayang?" Dhika memeluk hangat tubuh Dianaㅡneneknya itu. Matanya berbinar, wajar saja Dhika menjadi kesayangan karena Kara adalah anak satu-satunya dan itu artinya Dhika juga cucu satu-satunya.
Dhika menyalami Teguh juga dengan khidmat, lelaki berusia hampir tujuh puluh tahun itu begitu penyayang. Terlihat dari tatapan matanya pada semua orang di rumah ini.
Makan malam yang sebagian besar tersedia karena pesan antar memenuhi meja makan. Kecuali milik Rafi, pemuda itu bahkan masih memakan oatmeal seperti biasa. Kali ini ada sayur bening yang hambar seperti biasa. Ia tidak banyak bicara, Kara sudah berbaik hati selalu mengurusnya walaupun sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]
General FictionRafi tahu hidupnya akan baik-baik saja jika ia melupakan masa lalu. Hanya saja, masa lalu adalah bagian hidupnya. mengingat begitu banyak orang yang selalu mengingatkan masa lalu untuknya. Rafi berpikir hidupnya kini adalah untuk menebus kesalahan m...