Pil Pahit

1.2K 70 5
                                    

Rafi tidak berpikir jika ia akan kambuh pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rafi tidak berpikir jika ia akan kambuh pagi ini. Sejak bangun tidur, rasanya untuk menarik napas pun sulit ia lakukan. Ia duduk sembari bersandar pada dinding, menetralkan napasnya yang rasanya seperti tersumbat. Belum lagi rasa sakit di dadanya membuat ia semakin kewalahan. Tangannya bergetar, tapi ia mampu meraih ponsel yang berada di samping tempat tidurnya. Hanya saja, untuk menekan layarnya pun sekarang ia tak sanggup. Tangannya seakan mati rasa, hingga ia hanya mampu merintih.

"To-long." Sakit itu kembali menyiksa ketika ia berusaha untuk berbicara. Bagai malaikat tak bersayap, Kara tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar dan dengan panik menepuk pelan wajah Rafi agar ia tetap sadar.

"Kak... ayo kak, jangan tidur. Bunda cari obatnya dulu." Kara dengan perutnya yang sedikit membuncit itu dengan cekatan mengambil obat di dalam laci milik Rafi. Ia menyuntikkan obat yang sudah diresepkan oleh dokter yang menanganinya. Adhikari yang baru saja selesai mandi pun, ikut terlihat khawatir dengan keadaan yang dilewati oleh Rafi pagi ini.

Ia berinisiatif untuk mengambil tabung oksigen yang sudah ia taruh di kamar putranya itu. "Pakai dulu, biar enakan napasnya." Rafi tak menolak, matanya memberat walau rasanya masih menyakitkan. Tapi masker oksigen itu membuat jalur napasnya sedikit lebih baik.

"Mas, aku kenapa nggak pernah terbiasa ya lihat Rafi kesakitan." Kara berucap sembari mengelus pelan puncak kepala Rafi. Tiba-tiba saja perutnya terasa sakit. "Akh!"

"Kenapa, Bun?"

***

Rasanya Dhika seperti mendapat kejutan pagi ini, tiba-tiba saja Adhikari berteriak meminta tolong padanya untuk menjaga ibunya yang kesakitan. Saat ia datang ternyata Rafi keadaannya tak lebih baik dari ibunya.

"Bunda, kenapa?"

Tak menjawab, Kara hanya terus merintih. Ia kemudian menggenggam erat jemari milik Dhika berusaha menyalurkan rasa sakit yang ia derita saat ini. Rembesan di bagian bawah itu membuatnya lebih panik. "Dhik, bunda takut..."

"Bunda! Tenang Bunda sama adik pasti baik-baik aja." Tak lama setelahnya Adhikari datang membawa tas beserta paramedis yang tiba siap untuk mengangkat Kara. Suara sirine ambulance pagi ini cukup membuat gaduh di kalangan para tetangga rumahnya.

"Ayah minta tolong jaga Kak Rafi dulu, untuk sekolah maaf kayaknya kamu harus bolos ata-"

"Udah Yah, pikirin Bunda aja. Nanti jangan lupa kabarin aku." Adhikari mengangguk ia dengan cepat menaiki mobil ambulance yang akan membawa istrinya ke rumah sakit.

Dhika kembali menutup pintu setelah menjelaskan kejadian itu pada para tetangganya yang sedikit kepo. Matanya terbelalak, ketika melihat Rafi berjalan tertatih keluar dari kamar. Wajahnya yang pucat dan keringat yang timbul di area kening itu membuat Dhika semakin khawatir.

"Kak, lo mau ngapain?"

"Salah gue Dhik, nggak seharusnya jantung cacat ini kambuh dan buat Bunda panik."

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang