Happy Reading!
Penuturan Dhika sore itu membuat pikiran Rafi teralihkan, beberapa kali ia mencoba untuk fokus tetapi tak bisa. Ada saja kesalahan jawaban yang membuat dirinya kesal, setelahnya Rafi memilih untuk merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Dhika menangis dihadapannya adalah hal yang langka, sejauh ini pemuda itu lebih sering membuatnya kesal ketimbang membuatnya terharu.
"Gue mau lo sembuh, gue baru tahu dari Ayah kalau ternyata lo nggak baik-baik aja. Mulai sekarang lo harus ngomong soal apa aja yang lo rasain, Kak. Setelah ujian, tolong jangan tolak permintaan kita buat berobat. Operasi. Lo belum terlambat sama sekali."
Memang Rafi akui ia tidak pernah berkata jujur dengan Dhika. Jika saja itu dirinya, pasti sudah kecewa dengan sikap yang ia tunjukkan. Ada segumpal semangat yang tiba-tiba saja menghangat di hatinya. "Jadi... gue emang harus hidup, ya?" tuturnya sebelum menutup mata.
***
Pagi ini ia disambut dengan suara alarm yang membangunkan dirinya. Rafi duduk, kemudian mengusap wajahnya sedikit kasar. Ia beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka, kemudian kembali duduk di kursi belajar untuk membaca buku. Waktu masih menunjukkan pukul setengah empat pagi, ia tetap fokus membaca dan mencoba beberapa soal biologi yang tengah ia pelajari.
"Lo belum tidur?" Kegiatan Rafi terhenti saat ia menemukan Dhika yang masih berpenampilan setelan tidur.
Gelengan Rafi membuat Dhika menghela napas ringan. "Gue udah bangun, ini mau belajar."
"Yaudah, gue temenin ya? Mau tidur disini, tiba-tiba aja kebangun." Rafi tersenyum kemudian mengangguk.
Hening, Rafi kembali melakukan aktivitasnya yang tertunda beberapa saat. Sedangkan Dhika, entah sejak kapan sudah menyelam di dalam mimpi. Pikirannya tak pernah tenang, Rafi tak tahu sejak kapan semuanya terasa carut marut. Seakan tidak pernah ada celah untuk dirinya bisa menghirup napas lega seperti dahulu. Bayangan kecelakaan yang terjadi saat ia kecil terus membuat dirinya semakin tidak fokus. Belum lagi, bayangan Oma dan Opanya yang juga meninggal karena dirinya.
"Lo sebenernya niat belajar atau nggak sih? Gue sampe kebangun saking ribut banget lo ngetukin pensil."
Rafi tidak menyadari jika tangannya sibuk mengetukkan pensil ke atas meja. Kebiasaan buruk itu bermula saat dulu ia merasa kesepian selalu ditinggal orang tuanya bekerja. "Maaf, gue nggak sengaja."
"Apa yang lo pikirin?"
Mungkin karena Dhika sudah mengenalnya sejak kecil, jadi setiap pergerakan Rafi selalu terbaca oleh pemuda itu.
"Soal ujian biologi, menurut lo presentase keluarnya lebih banyak kelas berapa ya?"
Dhika terdengar mendengus kesal. "Lo bohong." Rafi hanya membalas dengan kekehan ia tak lagi melanjutkan percakapan dengan Dhika.
Pemuda itu memilih untuk fokus kembali pada deretan huruf yang seharusnya sudah sejak tadi ia baca. Berbanding terbalik dengan ucapan Dhika, pemuda itu kini menatap punggung Rafi yang terlihat rapuh. "Punggung lo nggak bidang kayak gue ya, kalau dilihat-lihat," ucapan Dhika secara tiba-tiba membuat kening Rafi mengerut dan ia memusatkan pandangannya pada Dhika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]
Художественная прозаRafi tahu hidupnya akan baik-baik saja jika ia melupakan masa lalu. Hanya saja, masa lalu adalah bagian hidupnya. mengingat begitu banyak orang yang selalu mengingatkan masa lalu untuknya. Rafi berpikir hidupnya kini adalah untuk menebus kesalahan m...