Prioritas

944 63 0
                                    

Hidup Rafi berjalan seperti biasanya, ia mulai disibukkan dengan jam tambahan di sekolah menjelang ujian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hidup Rafi berjalan seperti biasanya, ia mulai disibukkan dengan jam tambahan di sekolah menjelang ujian. Kara yang kini tak lagi bekerja tengah mengalami masa yang cukup melelahkan baginya. Mual dan muntah suara yang Rafi dengar setiap harinya, ia tak tega dan beberapa kali membantu untuk memijat tengkuknya.

"Bunda, hari ini aku aja yang masak. Bunda istirahat aja, muka Bunda pucat banget." Rafi sudah mengenakan apron untuk melindungi seragam batiknya hari ini.

"Maaf ya, Bunda pusing sekali nggak bisa nyium bau bumbu dapur." Rafi hanya mengangguk, kemudian menyunggingkan senyum. Ia tidak keberatan harus memasak setiap hari untuk keluarga ini. Menurutnya kebaikan keluarga Adhikari padanya tidak sebanding dengan membuatkan sarapan setiap pagi. 

Adhikari datang setelah Kara kembali ke dalam kamar, ia memperhatikan Rafi yang begitu cekatan ketika berada di dapur. "Kak...," panggilnya pelan agar tidak mengejutkan Rafi.

Pemuda itu menoleh sekilas, ia tersenyum kemudian mengangguk. "Kenapa, Yah?"

Adhikari mengambil cangkir, kemudian menambahkan bubuk kopi ke dalamnya. Sembari mengaduk, ia tak melepas pandangan dari Rafi. "Kenapa belum nyerahin formulir inten?"

Gerakannya terhenti sejenak, bibirnya yang kering itu tak luput dari gigitan giginya karena gugup. "Rafi kayaknya nggak kuliah, Yah. Jadi, nggak perlu ambil inten."

Lelaki itu, mengangkat cangkirnya kemudian menyeruput kopi tanpa gula itu. "Ayah masih sanggup biayain kamu bahkan kalau kamu mau ambil di luar negeri."

Kebetulan sekali, masakan pagi ini sudah selesai ia masak. Ia lantas memindahkan semua hidangan ke meja makan. "Pengobatanku selama ini juga sudah mahal, Yah. Baiknya, aku nggak nambahin beban ayah sama bunda lagi. Lagipula, keluarga kita bakal punya anggota baru. Pasti yang ayah pikirin bukan pendidikan aku aja." Rafi tersenyum menatap manik mata legam milik Adhikari. "Aku bersyukur karena ayah sudah sayang sama aku, walau selama ini aku adalah orang lain di keluarga ini."

Adhikari menaruh cangkirnya, kemudian berjalan memeluk Rafi. "Kamu nggak perlu berpikir kalau ayah dan bunda merasa terbebani. Kamu itu, satu-satunya saudara yang ayah punya saat ini. Darah daging kembaran ayah sendiri, apa pantas ayah merasa terbebani? Nggak, Kak. Kamu itu pelengkap di rumah ini. Jadi, tolong pikirkan kembali untuk kuliah ya, ayah tunggu formulirnya."

Rafi tak menjawab, ia mati-matian menahan sesak yang bergumul di dadanya. "Makasih, Yah." 

"Ayah butuh formulirnya, bukan makasih dari kamu. Selama ini juga kita nggak kekurangan, kan? Tenang aja, kamu hanya perlu sehat jadi bisa jalani hari seperti remaja pada umumnya." Adhikari melepaskan pelukannya, menatap manik mata kecokelatan yang persis dengan Aditya kembarannya itu. "Ayah selalu beryukur kamu bertahan selama ini. Jadi tolong, kamu juga harus menjalani hidup dengan baik."

Sarapan pagi ini terasa lebih haru bagi Rafi, Adhikari dan Kara yang selalu merawatnya tanpa pamrih membuat dirinya selalu diliputi rasa syukur yang tak habis-habis. Rafi menatap satu per satu anggota keluarganya, ia tersenyum dan kemudian melanjutkan makannya yang tertunda sejenak.

"Makasih ya, Kak. Masakannya enak banget, adik jadi nggak rewel loh." Rafi mengangguk kemudian tersenyum.

"Oh! jadi yang masak sarapan Kak Rafi? Wah... apa lagi yang lo nggak bisa sih kak? Keren banget jadi orang."

Rafi hanya tersenyum mendengar perkataan Dhika, selama ini justru Rafi yang selalu terkesan dengan apa yang dapat dilakukan oleh Dhika. Namun sepertinya pemuda itu tak tahu jika ia pun tak kalah keren dari dirinya yang cacat ini. Dhika masih asik mengunyah sarapannya sembari bercanda dengan kedua orang tuanya. 

"Aduh mau makan lagi, tapi aku kenyang banget." Keluhnya setelah menghabiskan separuh lauk yang Rafi buat pagi ini. "Aku bawa bekal ya," ketiganya tergelak mendengar permintaan Dhika, pasalnya pemuda itu paling anti jika Kara menyiapkan bekal. Tapi hari ini justru dengan keinginannya sendiri dan Kara menyanggupi.

***

Jam olahraga selalu menjadi waktu yang membosankan bagi Rafi, ia tidak diizinkan untuk mengikuti olaharga karena catatan kesehatannya yang buruk. Setiap kali jam olahraga, pemuda itu hanya absen kemudian pergi menuju perpustakaan. Ia kerap mendapatkan tugas untuk merangkum atau sekedar menggambar lapangan bola, rasanya Rafi pun sudah hapal diluar kepala berapa ukuran lapangan bola yang sesuai, hingga tinggi ring basket seharusnya. Ia melihat kembali formulir pendaftaran untuk pelajaran tambahan sebagai penunjang agar dirinya bisa lolos tes perguruan tinggi.

Kerjasama antara sekolahnya dan penyedia pelajaran tambahan membuat seluruh siswa yang ingin mendaftar akan mendapat kelas khusus dengan tutor yang sudah terpilih. Rafi menyentuh dadanya yang kini berdegup normal, ia takut jika semakin hari dirinya semakin menyusahkan bagi keluarganya. Jadwal yang padat terkadang membuat Rafi lelah, ia sendiri seakan trauma dengan rasa sakit yang datang ketika jantungnya berulah. Belakangan, ia sering merasa tak nyaman dengan keadaan jantungnya. Hanya saja, ia diam dan tak akan bicara selagi masih bisa ditangani dengan obat yang diresepkan.

"Apa lagi yang lo pikirin, sih?" Dhika tiba-tiba saja duduk di hadapannya, perpustakaan lengang dan pemuda itu datang entah dari mana.

Sedikit tersentak dengan kehadiran Dhika, tetapi dengan cepat ia menormalkan degup jantungnya. "Banyak lah, manusia hidup pasti mikir."

Dhika tertawa, entah apa yang membuat wajah pemuda itu jauh lebih bersinar dari biasanya. "Maksud gue, daripada lo ngelamun kan bisa ya isi formulir itu."

"Emangnya gue bisa hidup selama itu ya? Buat apa gue lanjutin kuliah kalau nantinya juga nggak ada yang tau sama masa depan."

Dhika menepuk pelan tangan Rafi yang memegang pulpen. "Kita itu manusia, wajib mencari ilmu dari kita dilahirkan sampai nanti masuk liang lahat. Lagian lo punya kuasa apa sama hidup? Bisa aja gue yang sehat ini tiba-tiba meninggal duluan dari pada lo. Umur nggak ada yang tahu, mau lo sakit atau terpuruk menurut gue mencari ilmu itu harus."

Rafi tersenyum, kemudian ia menggerakkan jemarinya untuk mengisi formulir di hadapannya. "Gue nggak tahu kalau ternyata lo pinter ngomong juga, lo bakal jadi apa aja yang lo mau."

"Jangan sok memotivasi gue yang barusan jadi motivator lo deh, Kak." Keduanya tertawa, Dhika menatap puas formulir yang sudah diisi dengan penuh oleh Rafi. Ia mengambil formulir itu dan membaca dengan seksama.

"Nah gini dong dari tadi." Ia terkekeh kemudian mengembalikan kembali formulir itu pada Rafi.

"Lo kok nggak kelas?"

Dhika terlihat kaget dan menepuk kepalanya dengan cepat. "Gue tadi disuruh ambil buku."

Bersamaan dengan Dhika yang baru mengingat tentang tugasnya, guru Bahasa Indonesia yang mengutusnya pun akhirnya datang sendiri ke perpustakaan.

"Dhika, kenapa lama sekali?"

Dhika menggaruk tengkuknya. "Maaf bu, saya kelupaan." Walau ia mendapat jeweran dari gurunya itu, tak ayal membuat senyumnya menghilang. Ia mengedipkan sebelah mata ke arah Rafi kemudian meninggalkan pemuda itu sendiri.

Hola hola!Aku tadinya mau update kemarin malem, tapi ternyata ketiduran 🥲Oke, semoga masih suka ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hola hola!
Aku tadinya mau update kemarin malem, tapi ternyata ketiduran 🥲
Oke, semoga masih suka ya. Happy reading! 🫶

28 Agustus 2023

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang