Rafi tahu hidupnya akan baik-baik saja jika ia melupakan masa lalu. Hanya saja, masa lalu adalah bagian hidupnya. mengingat begitu banyak orang yang selalu mengingatkan masa lalu untuknya. Rafi berpikir hidupnya kini adalah untuk menebus kesalahan m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy Reading!
Pagi ini hari Senin, hari pertama Rafi masuk sekolah setelah tiga hari ia sakit. Tidak ada yang berubah, pagi ini ia menyiapkan sarapan untuk kedua orang tuanya walau sudah diwanti-wanti oleh Adhikari agar ia lebih banyak istirahat saja. Tetapi, Rafi tidak mendengarkan. Ia tetap memasak agar seluruh keluarganya dapat menikmati sarapan. Hari ini kedua orang tua Kara akan datang dan menemani Kara di rumah, pasalnya Adhikari harus pergi bekerja pagi ini.
"Setelah ini, kamu di kamar aja ya. Nanti kalau Ibu dan Bapak sudah datang, baru bukain pintu. Jangan ngapa-ngapain." Adhikari berpesan pada Kara yang terlihat malas untuk menyantap makanan pagi ini.
"Iya," jawabnya singkat. Kemudian mengaduk makanannya dan berdecak pelan. "Aku mual banget lihat makanan ini."
Baik Adhikari maupun Dhika tak menyangka ibunya akan berbicara seperti itu. Rafi hanya menunduk, ia tak tahu kesalahannya dimana. Pemuda itu hanya memasak seperti biasa, ia tersenyum kemudian menatap Kara dengan hangat. "Mungkin adik mau makan yang seger, maaf ya Rafi masaknya cuma begini." Ia menatap menu masakan yang sudah terhidang, ayam goreng serta sayur sop ada disana.
"Kak, ini enak kok. Mungkin bunda emang lagi mual aja, nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf." Adhikari menyela setelah mendengar penuturan maaf dari Rafi.
Rafi hanya mengangguk, ia menatap Kara yang tidak berselera makan. Kemudian Rafi berdiri dan mengambil roti serta selai stroberi kesukaan Kara. "Bun, mau Rafi buatin roti bakar?"
"Nggak perlu." Ketus Kara kemudian, ia kembali menaruh roti yang sudah dipegang sebelumnya. Rasanya Rafi tak bisa tersenyum pagi ini. Entah kenapa firasatnya buruk.
Setelah ketiganya menyelesaikan sarapan, dan Rafi pun menyempatkan diri untuk mencuci piring. Dhika dan Rafi berangkat ke sekolah, dalam perjalanan tak ada pembicaraan yang Rafi mulai. Dhika merasa aneh dengan kakak laki-lakinya itu.
"Kak, lo nggak kesambet kan?"
Rafi terkekeh mendengar penuturan Dhika. Sungguh polos sekali pertanyaan pemuda itu. "Nggak, cuma malas aja. Kebanyakan energi yang dikeluarin, padahal belum mulai upacara. Nanti lemes."
"Lah, emang lo mau ikut upacara? Nggak ya, gue nggak izinin."
"Gue cuma mau menikmati hari-hari terakhir gue jadi siswa SMA. Masalah gue kuat atau nggak, urusan nanti."
Rafi tak mengalihkan pandangan dari kaca sebelah kirinya. Ia hanya terdiam, merasakan rasa sakit yang menjalar sejak tadi mendengar penuturan dari Kara. Ini sakit yang berbeda, Rafi sendiri tak tahu asalnya dari mana.
"Lo istirahat aja, ngapain juga ikut upacara. Panas."
"Esensi upacara yang lo nggak pernah tahu, kalau kita nggak merdeka kita nggak pernah tahu rasanya upacara bendera," ucapan yang terdengar klise di telinga Dhika. "Jangan halangi gue, kali ini aja. Gue mau buat ngerasain jadi siswa normal."