Harapan

1.2K 74 2
                                    

Anggap saja keajaiban kembali hadir di tengah-tengah duka yang mereka rasakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anggap saja keajaiban kembali hadir di tengah-tengah duka yang mereka rasakan. Rafi keadaannya kembali membaik, dan berangsur-angsur sadar. Walau kini ia masih dinyatakan dalam kondisi somnolen, Rafi sudah bisa merespon sedikit demi sedikit. Mata Kara sudah membengkak pasalnya ia menangis semalam ini. Dhika bahkan tubuhnya sedikit demam karena tak berhenti menangis juga melupakan makan malamnya.

Syukurnya berita baik itu datang lebih cepat dari yang mereka duga. Walau sebelum hari ini pun ketiganya sudah mendapatkan kabar buruk tentang kondisi jantung Rafi yang semakin lemah. Kebocoran jantung yang kini ia derita semakin parah. Ada tiga titik dan seharusnya segera dilakukan tindakan. Hanya saja, Rafi menolak operasi yang akan dilakukan. Ia hanya ingin melakukan tindakan ketika libur semester, semua orang ingin Rafi kembali sehat, hanya saja pemuda itu tak ingin tahun terakhirnya di SMA penuh dengan izin.

"Bun, kalau kita operasi Kak Rafi aja gimana?" Dhika berucap setelah kedua orang tuanya memesan satu brankar untuk dirinya, terlebih pemuda itu kini harus mendapatkan infus karena tubuhnya semakin lemas juga demamnya semakin tinggi.

"Ayah mau, Bunda mau, Dhika mau. Tapi kalau Kak Rafi yang menolak gimana, nak? Bagaimana pun setelah operasi itu juga nggak nyaman, Kak Rafi itu orangnya sangat pemikir. Bunda tahu mungkin sudah banyak pertimbangan yang dia pikirkan sampai menolak tawaran untuk operasi itu." Kara menjelaskan sembari mengelus puncak kepala Dhika.

Sedangkan Dhika menoleh pada Rafi yang masih tertidur dengan bantuan nassal canul di hidungnya. "Aku mau tua bareng sama Kak Rafi terus, Bun."

"Iya, sayang. Bunda juga mau begitu."

Sore harinya, Rafi akhirnya membuka mata. Membuat dua pasang mata berbinar hingga nyaris mengeluarkan air mata. Adhikari masih berada di perjalanan ketika mendapat kabar dari Kara. Sedangkan perhatian Rafi sudah seutuhnya dimonopoli oleh Dhika. Ia duduk di ranjangnya dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan pagi tadi. Rasanya seluruh rasa tidak nyaman di tubuh Dhika sirna begitu mendengar Rafi memanggil namanya.

"Kamu jadi sakit, maafin Kakak ya."

Gelengan Dhika terlihat pasti. "Jangan nyalahin diri sendiri, Kak. Lo paling tahu gue sakit karena telat makan. Salah gue seratus persen."

Rafi masih lemas, ia hanya merespon dengan senyum dan anggukan saja. Bibirnya yang kering kemudian mengeluarkan kata-kata lainnya. "Bunda, aku haus."

"Ck, gue biㅡ"

Dhika kembali terduduk saat Kara sedikit mendorongnya. "Kamu aja masih sakit, biar bunda yang bantu Kak Rafi. Itu lihat darahnya naik, kan?"

Dhika hanya tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi pada Kara. Sedangkan Rafi bergerak tak nyaman, rasanya gerakan kecil saja membuat jantungnya sakit sekali. Ia bahkan berharap jika organ itu dapat dilepas kemudian diperbaiki sementara agar tidak lagi menyiksanya.

Segarnya air yang membasahi mulutnya tak mampu Rafi pungkiri ia menghabiskan hampir setengah gelas jika Kara tak menegurnya. "Sayang, minumnya jangan terlalu banyak." Rafi hampir lupa, pasalnya ia merasa begitu haus saat ini.

"Maaf, Bun." Setelah Kara mengembalikan Rafi ke posisi semula, perempuan itu beranjak dari sisi kedua anaknya. Ia meminta izin untuk membeli makanan terlebih dahulu.

"Bunda makan dulu aja, Kak Rafi pasti aku jagain." Dhika bersemangat, sedangkan Rafi masih tersenyum menanggapi.

"Kak, kata dokter jalan yang paling baik itu operasi."

Rafi tersenyum, ia sedikit tertegun kemudian menerawang plafon putih yang kerap ia lihat ketika kembali collaps.

"Selagi dia diperbaiki, nggak ada yang bisa jamin dia kembali berdetak lagi. Gue lebih siap mati di jalanan, ketimbang mati di meja operasi. Gue takut, kalau akhirnya gue tetap jadi orang yang selalu buat kalian kecewa."

***

Raihan dan Danis datang setelah mendengar kabar jika Rafi sadar. Tentu saja dari mulut ember Dhika, saat ini ruangan terasa ramai. Rafi pun sudah bisa duduk dan berbaring sendiri tanpa bantuan orang lain. Tiba-tiba saja Adhikari masuk ke dalam ruangan dengan membawa kue. Ada hiasan bertuliskan 'Selamat Bertambah usia Anak, Kakak, dan Sahabat Kami. Rafisqy.'

Senyumnya terbit tatkala mendapati Kara pun bergabung membawakan beberapa topi ulang tahun untuk semua orang di kamar rawat ini. "Selamat ulang tahun ya sayang, maaf Ayah ngucapinnya terlambat."

Rafi mengangguk. "Bukan salah Ayah, terima kasih Ayah." Ia mendapatkan ciuman di dahinya, Rafi tidak seutuhnya kehilangan orang tuanya. Karena Adhikari dan mendiang Papanya kembar identik. Rafi dapat merasakan jika Papanya selalu ada untuk dirinya.

"Anak Bunda, sekarang sudah besar banget. Sehat-sehat ya sayang, jangan sering buat bunda khawatir." Rafi tersenyum, ia tidak mengangguk. Dalam hatinya pun tak ingin terlalu sering kambuh dan merepotkan seluruh anggota keluarganya. Hanya saja, ia tidak bisa mengontrol rasa sakit yang kerap hadir menyiksa.

"Kak, gue mau besar dan tua sama lo. Jangan pergi, bertahan demi kita ya." Rafi kembali tersenyum, memeluk Dhika yang ternyata sudah menangis terlebih dahulu.

Raihan dan Danis tak ikut berucap karena ruangan terasa sedih setelah penyataan Dhika. Keduanya berusaha untuk terus berada di samping Rafi dan memastikan pemuda itu terus bercahaya diantara mereka.

Malam itu terasa panjang bagi Rafi, perhatian semua orang disekitarnya membuat pemuda itu menjadi takut jika maut datang begitu saja. Padahal, selama ini ia bahkan tak segan jika harus meninggal ketika sakit itu kembali datang. Keraguan yang menggerogoti dirinya membuat sepasang mata sayu itu tak dapat terpejam walau sedetik. Obat yang telah diinjeksi pun seharusnya menyebabkan rasa kantuk padanya. Hanya saja, sekarang sepertinya otaknya terlalu lelah berpikir hingga rasa kantuk itu tak datang.

"Kenapa nggak tidur?" Kara bertanya ketika ia mendapati Rafi memperhatikan tetesan infus dan matanya yang masih terbuka lebar sekali.

Rafi sedikit terkejut, ia pikir seluruh keluarganya sudah tidur. "Nggak bisa, Bun." Rafi bergerak pelan, nyatanya ia masih lemah dan tak mampu bergerak banyak. Nyeri yang datang tiba-tiba terasa lebih buruk ketika ia kambuh. 

Kara mendekat, kemudian mengusap pelan kepala Rafi. Memijat kecil tangan anaknya yang terkulai di atas tempat tidur. Telapaknya yang basah dan dingin membuat Kara menjadi prihatin pada Rafi. "Bunda usap ya, biar cepat ngantuk?" Rafi mengangguk untuk menjawab pertanyaan Kara. "Sekarang sudah jam satu, Bunda nggak mau kamu jadi sesak karena tidur terlalu larut. Lain kali kalau nggak bisa tidur, bangunin Bunda ya?" Kara mengusap peluh yang entah sejak kapan membasahi pelipisnya.

"Iya, Bunda." Matanya ia paksa pejamkan. Walau tak ingin, tetapi rasa mengantuk itu datang sesaat setelah Kara mengusap pelan kepalanya. Rafi tersenyum, walau saturasinya masih rendah, pemuda itu dapat tertidur pulas setelahnya.

"Bahagia ya, Nak. Jangan takut kalau dunia selalu menyakiti kamu." Kara berbisik, kemudian menenggelamkan kepalanya di samping tangan Rafi. Ia ikut tertidur sembari menggenggam tangan basah milik Rafi. "Kami selalu ada buat kamu." lanjutnya sebelum matanya terpejam menuju alam mimpi.

19 Agustus 2023Selamat Hari Kemerdekaan guys, selamat membaca!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

19 Agustus 2023
Selamat Hari Kemerdekaan guys, selamat membaca!!!

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang