Tahu Diri

940 72 7
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

"Kamu itu numpang! setidaknya kalau mau pulang telat itu ngomong. Jangan buat repot semua orang di rumah ini!" seruan yang cukup nyaring membuat Rafi tertunduk, seingatnya ia sudah mengirim pesan pada Dhika. Namun ternyata ponselnya tak memiliki kuota internet. Selain itu, ternyata ponsel miliknya juga kehabisan daya. Alhasil, Dhika mencarinya sejak pulang basket. Hingga sekitar pukul enam sore, Dhika menemukan Rafi yang masih terduduk lesu di makam kedua orang tuanya.

Adhikari pun ikut kalang kabut ketika ia tak bisa menelepon Rafi, ia bahkan sudah berkeliling sejak pukul empat sore. Wajah lelah benar-benar tergambar jelas pada keduanya--Dhika dan Adhikari. Rasa bersalah Rafi semakin memuncak ketika ucapan sang nenek melewati indera pendengarannya.

"Maaf, Yah, Dhik. Aku nggak berniat buat kalian khawatir," ucapnya penuh sesal.

"Nggak perlu sok merasa bersalah. Cukup tahu diri saja." Neneknya pun pergi dengan menorehkan goresan luka di dalam hati Rafi.

Adhikari dan Dhika sedari tadi memang diam saja. Keduanya pergi meninggalkan Rafi yang masih termenung di teras rumah. Ia tak melihat Kara keluar dari kamar. Langkah gontai pemuda itu memenuhi rumah milik Adhikari tersebut, ia berhenti lagi setelah menutup pintu depan. Matanya berpendar ke seluruh ruangan, rumah ini memiliki banyak kenangan bagi Rafi. Sejak awal ia tak bisa berdamai dengan kepergian kedua orang tuanya, hingga ia kini dapat berpijak hingga umur tujuh belas tahun. Terlalu banyak kebaikan dari keluarga Adhikari yang ia terima selama ini.

Belum sempat ia mengganti baju, Rafi mendatangi Adhikari yang kini tengah mencuci tangan. "Ayah..." sapanya setelah melihat lelaki itu mengacuhkan dirinya.

"Kenapa?"

Rasanya lidah Rafi kelu, ia tak sanggup sekedar menatap wajah tegas milik ayahnya itu. "Kalau aku merep--"

"Kalau kamu cuma mau bilang maaf, nanti saja. Ayah lagi banyak pikiran, kamu nggak tahu betapa khawatirnya kami." Suaranya terdengar sangat nyaring dengan penekanan setiap katanya. Hati Rafi seperti tercubit.

Diam, dan tak berkutik kini Rafi hanya menunduk. Menatap ujung jemari kakinya yang putih bersih. Ia tak membalas lagi, ini pertama kali bagi Rafi ia dibentak oleh Adhikari. Emosi Adhikari sedang tak baik sejak ibunya pulang dari rumah sakit.

"Harusnya kamu memang tahu diri."

Lagi-lagi ungkapan kasar itu memenuhi pendengarannya. Ia bersumpah demi apapun, rasanya begitu menyakitkan. Bahkan lebih sakit daripada jatungnya yang sering berulah itu.

"Maaf, nek."

Rafi tetap menunduk, ia memasuki kamar kemudian mengunci pintu kamarnya. Hal yang tak pernah ia lakukan di rumah ini. Namun hari ini, sepertinya seluruh keluarga pun muak dengan dirinya. Ia tidak menangis, entah mengapa air matanya tak bisa ia keluarkan. Hanya saja rasa sesak memenuhi rongga dadanya, ia berkali-kali mengembuskan napas berat.

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang