Sendiri

978 69 0
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Rafi tahu yang terjadi adalah hal buruk, mungkin saja mimpinya adalah pertanda. Hanya saja, ia masih tidak menerima apa yang terjadi. Berdasarkan penuturan perawat yang mengunjunginya sore ini, Rafi sudah tertidur selama hampir tiga puluh enam jam. Tapi anehnya, ketika ia membuka mata pun rasa mengantuk tetap menguasai dirinya.

"Rafi, bagaimana kabarmu?" Seorang dokter memasuki ruang rawat Rafi. Pemuda itu tidak tahu kapan ia pindah ruangan, sekarang yang ia rasakan hanya lemas dan pusing.

"Baik, dok."

Terlihat lelaki yang menggunakan jas putih itu membaca hasil diagnosa dengan serius. Ia beberapa kali menarik napas berat, Rafi menyadari mungkin keadaannya memang cukup buruk.

"Kondisi sekarang riskan untuk kamu, tapi saya memang harus sampaikan ini. Karena berkali-kali kamu menolak operasi penggantian katup jantung, sedangkan jantungmu sekarang sudah di tahap yang mengkhawatirkan. Kita harus secepatnya melakukan tindakan, Dokter harap kamu mau."

Rafi terdiam sejenak. Ia memegang dada sebelah kiri kemudian meraba bekas sayatan di dekatnya. "Sakit sekali, dok." Lirihnya kemudian ia menatap lawan bicaranya. "Oma sama Opa dimana dok?"

Dokter itu bungkam, ia tidak memiliki hak untuk memberitahu tentang keadaan Tora dan Aini. Ia tidak ingin berita buruk itu akan membuat Rafi kembali merasakan sakit. "Kamu pikir baik-baik untuk melakukan operasi."

Pemuda itu memilih diam, ia tak lagi menatap dokter di hadapannya penuh minat. Bertahun-tahun hidup dengan rasa sakit memang tidak mudah. Tetapi operasi itu juga bukan jalan untuk membuatnya bisa menjalani hari seperti biasa. Hanya untuk memperlambat waktu kematiannya, setidaknya hal itu yang mengganggu Rafi setiap kali pertanyaan untuk operasi dilontarkan padanya.

Dokter yang bernama Purwa itu lantas pamit karena telah selesai menganalisis hasil pemeriksaan pada pasiennya. Sepi setelah tak ada lagi yang berdiri di sampingnya. Ponsel pun tak ada. Rafi hanya berdiam diri hingga otaknya pun memutar skenario terburuk jika ia harus meninggal sendirian di ruangan ini.

"Minimal kalau nggak mau temani, jangan taruh gue di ruang vip."

Ia menekan tombol yang berada di atas kepalanya dengan susah payah, kemudian salah satu perawat datang dengan cepat. "Ada apa?"

"Suster, aku mau pindah ruangan. Disini... sepi."

Mungkin Rafi sudah ditakdirkan untuk hidup dalam kesepian, ia sudah berusaha agar tak lagi berada di ruangan ini sendiri tetapi perawat itu bahkan tidak menggubris apa yang Rafi inginkan. Malam ini semakin terasa lama karena ia sendirian di ruangan yang sejujurnya tidak asing. Tetapi, hari ini Rafi ingin jika ada Oma dan Opanya datang untuk menyapa dirinya. Sekaligus, ia ingin meminta maaf jika selalu membuat keduanya sedih dan khawatir. Ada rasa tidak nyaman pada dadanya, namun Rafi hanya diam. Ia tidur dengan posisi menyamping guna meminimalisir rasa sakit yang datang terus menerus.

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang