Merelakan

924 66 9
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

"Janji sama gue kalau disini lo bakal lebih baik." Dhika yang mengantar Rafi untuk kembali ke rumah dimana ia seharusnya tinggal. Setelah dua hari pulang ke rumah, pasca kambuhnya waktu itu. Rafi sudah yakin untuk pulang, ia sudah berpamitan pada seluruh anggota keluarganya. Termasuk nenek juga kakek yang kemarin berkumpul di rumah Adhikari.

Rafi mengangguk, ia paham betul jika kondisinya saat ini tak lagi baik. "Gue janji. Lo mau masuk dulu, atau langsung latihan?"

Dhika terlihat berpikir, kemudian melihat ke pergelangan tangannya. "Gue langsung aja deh, takut nggak keburu. Nanti kalau gue cepet kelar, mampir kesini." Anggukan Rafi menjadi jawaban setelahnya. "Salam buat bibi!"

"Oke." Rafi menjawab, kemudian membiarkan Dhika menghilang dari penglihatannya.

Dua koper besar sudah masuk ke dalam rumahnya, kini Rafi berdiri sendiri di tempat ia dibesarkan selama tujuh tahun. Rasanya tidak ada yang berubah. Saat pertama kali masuk, ia akan disuguhi oleh foto oma dan opa yang besar. Di sebelah kanannya ada foto kedua orang tuanya yang kala itu menggendong dirinya.  Sebelah kirinya, juga tergantung foto Kara juga Adhikari lengkap dengan Dhika beserta dirinya. Rafi tertawa kecil, melihat kedua foto keluarga itu. Hatinya menghangat, walau ada tempat kosong yang kini terasa sunyi.

"Tuan, mau langsung ke kamar? Ayo bibi antar." Salah satu asisten rumah tangga menegurnya. Rafi hanya mengangguk, ia berjalan pelan menuju lantai dua rumah itu. Jangan tanya bagaimana perasaan Rafi, jantungnya bahkan sudah berdegup kencang.

Kamar yang dulu ia tempati, tidak ada yang berubah. Pada lantai dua, terdapat empat kamar tidur. Salah satunya adalah kamar miliknya, walau singkat ia pernah memiliki kenangan di dalamnya. Barang-barangnya tak berubah sejak ia memutuskan untuk tak lagi tinggal disana. Terawat, mungkin Rafi harus meminta untuk merubah dekorasinya saja.

Ia duduk di pinggir ranjang, kemudian ingatannya seperti berulang. Saat dulu ibu dan ayahnya selalu meluangkan waktu untuk membacakan buku cerita untuknya. Rasanya atmosfer itu masih sama, hanya saja pemeran di dalamnya tak lagi ada. Rafi meringkuk sendiri di dalam kamarnya, sepi. Ia seperti menyesali keputusannya.

"Mas, gimana kalau Rafi emang kita kembalikan ke rumah orang tuamu aja."

Rafi mengingat pembicaraan Kara dan Adhikari, hatinya sakit entah mengapa ia merasa seperti tidak diinginkan. Air matanya menetes tanpa sengaja, rasanya cukup menyesakkan memendam apapun seorang diri.

Ketukan pada pintu cokelat itu membuat Rafi dengan cepat duduk kembali. Gerakannya yang tiba-tiba tak hanya membuat kepalanya pusing, namun jantungnya juga terasa sakit.

"Tuan!"

Suara perempuan yang menyapanya di depan rumah tadi memenuhi indera pendengaran Rafi. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah mampu mengendalikan tubuhnya kembali.

"Ada apa, Bi?"

Ada tatapan khawatir ketika Rafi menatap manik mata asisten rumah tangga yang sudah ia kenal sejak kecil itu. Santika namanya, biasanya semua orang memanggilnya dengan sebutan Ika. Sedangkan Rafi sendiri memanggilnya dengan Bibi Tika.

Elegi Tawa ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang