34

7K 201 10
                                    

Duduk termenung King menghembuskan asapnya, suasana di halaman belakang bengkel malam inj terasa berat. King duduk di kursi kayu, memegang botol minuman yang hampir kosong. Di sebelahnya, Galang bersandar di dinding, bermain-main dengan tutup botol di tangannya. Udara malam yang sejuk terasa kontras dengan kegelisahan yang membayangi percakapan mereka.

Alunan musik Nidji - Hapus Aku tiba-tiba terputar di ponsel King yang tergeletak di meja. Musik itu benar-benar membuat King merasa terpojokkan, kisah yang saat ini ia alami tampak menyudutkannya.

Bianca adalah milik orang lain, dia terlanjur mencintai gadis kecil yang usianya 3 tahun lebih muda darinya.

"What the fuck!!!" Umpat King.

"Matiin aja musiknya kalo lo ngerasa keganggu," saran Galang tanpa basa-basi. Bahkan galang mengerti keadaan King seperti apa.

King terdiam sejenak, meneguk minumannya tanpa berkata apa-apa.

"Lagi-lagi soal Bianca, ya?" lanjut Galang dengan nada datar.

Mendengar nama itu, King mendongak, menatap Galang tajam. "Kalo sekiranya lo udah tau jangan lo tanyain lagi. Mungkin lo doang yang ngerti isi pikiran gue"

Galang tersenyum kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana.

King mendesah, mengusap wajahnya kasar. "Gue nggak tahu kenapa gue bisa suka sama dia. Ini nggak masuk akal."

"Gue bahkan nggak ngerti apa yang bikin gue jatuh. Gue cuma tahu... gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Padahal gue nggak pernah mau kayak gini."

Galang menatap King dengan tatapan serius. "Lo nggak pernah mau kayak gini? Maksudnya?"

King menghela napas panjang. "Gue udah janji sama diri gue sendiri. Setelah... semua yang pernah gue alami, gue nggak mau lagi naruh rasa sama siapa pun sampai gue benar-benar bisa legowo. Gue nggak mau ada perasaan yang nanggung, nggak mau ada luka yang kebuka lagi. Gue pikir gue bisa kontrol itu. Tapi sekarang? Gue kacau. Gue nggak ngerti kenapa hati gue harus mulai lagi. Dan parahnya udah ada yang punya"

"Itu yang bikin gue makin gila. Gue tahu gue nggak boleh suka. Gue tahu gue nggak punya hak. Tapi gue nggak bisa bohong kalau perasaan ini ada. Dan itu bikin gue benci sama diri gue sendiri."

Galang meneguk minumannya, lalu menepuk bahu King. "Lo manusia, King. Perasaan itu nggak bisa selalu lo kontrol. Tapi setidaknya lo sadar, dan lo nggak mau bikin keadaan lebih buruk. Itu udah cukup. Gue tahu lo nggak akan ngelakuin hal bodoh."

King tertawa getir, suaranya penuh kepahitan. "Gue nggak tahu, Lang. Kadang gue pikir, kenapa perasaan ini harus ada kalau akhirnya cuma nyakitin? Kenapa gue nggak bisa sekalian aja mati rasa?"

Galang menatapnya dengan serius. "Karena lo hidup, King. Orang hidup pasti ngerasain hal kayak gini. Perasaan itu nggak salah, yang salah cuma kalau lo biarin itu ngerusak lo atau orang lain. Lo cuma butuh waktu buat nerima."

King kembali mengusap wajahnya, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Namun, wajah Bianca terus muncul di benaknya, membuat semuanya terasa semakin rumit.

Malam itu, di bawah langit yang gelap, King dan Galang berbagi rasa yang sama, rasa sakit dan kebingungan karena perempuan. Meski tidak ada solusi yang ditemukan, setidaknya mereka merasa tidak sendirian dalam menghadapi kekacauan hidup mereka.

Dimalam yang sama pukul 9 malam Leon memasuki parkiran rumah sakit. Ia baru saja pulang dari rumah Bianca, namun merasa ada sesuatu yang belum ia selesaikan. Hatinya mendesak untuk mampir menjenguk mamahnya, yang sudah berminggu-minggu terbaring koma akibat syok berat.

Mamah Leon, Nyonya Maya, didiagnosis mengalami sindrom takotsubo, yaitu gangguan pada jantung yang dipicu oleh stres emosional hebat. Kejadian itu terjadi setelah ia mengetahui bahwa suaminya, Papah Leon, berselingkuh dengan perempuan lain. Pengkhianatan itu begitu menghancurkan Maya hingga tubuhnya tak mampu menanggung beban emosional tersebut, menyebabkan kolapsnya fungsi jantung dan kesadarannya.

Leon King (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang