33. IKHLAS

1.2K 84 0
                                    

"Terlalu mencintai manusia itu juga nggak baik, Sayang. Apalagi kamu cewek, nggak seharusnya ngejar cowok."

"Tapi, Bun— "

"Berdoa aja sama Allah, minta petunjuk," ujarnya.

"Udah, Bunda. Kalo seandainya sekali aja Reva lihat Varro sama cewek lain, maka di detik itu juga Reva bakalan berhenti buat berharap. Ya, meskipun sulit, tapi setidaknya Reva yakin kalo itu suatu petunjuk yang Allah lihatkan ke Reva supaya Reva nggak berharap lagi sama Varro," kata Reva yang menatap ke arah bundanya yang sedang mengemudi mobil.

Tangan Aisyah bergerak mengelus kepala Reva lembut. "Bunda selalu dukung apapun keputusan kamu. Sekarang mending kamu fokus kuliah, nanti Bunda jemput," ujarnya lalu mencium kening Reva. Tak sampai di sana, tangan kiri Aisyah memeganga ujung kepala Reva dan tangan kanannya mengadah untuk memdoakan anak tirinya.

Reva yang tahu itu hanya menunduk sembari memejamkan matanya, setiap kali ia pergi pasti Aisyah selalu mendoakannya. Memang bukan ibu kandung, tapi sosok Aisyah mampu menggantikan peran ibu kandungnya.

"Ya udah kamu turun," ujar Aisyah yang diangguki Reva.

Reva mengangguk kecil. "Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

◇◇◇◇

"Kamu yakin mau kuliah sambil kerja, Cel?" tanya seorang wanita yang duduk di atas ranjang sembari melihat keponakannya yang menata bajunya di dalam lemari.

Celsia menghentikan kegiatannya, ia menatap Hana dalam. "Yakin nggak yakin sih. Tapi gue bakalan buktiin ke Papa kalo gue juga masih bisa hidup tanpa dia."

Hana tersenyum tipis ia beranjak dari ranjang dan mendekati Celsia. "Tapi jangan lupakan kalo dia itu orang tua kandung kamu, Cel."

Gadis itu tersenyum kecut. Orang tua macam apa yang rela bermain fisik terhadap anak kandungnya hanya karena sebuah nilai. Orang tua macam apa yang tidak pernah ingin tahu kehidupan anaknya dan lebih mementingkan keluarga barunya. Namun, anehnya Celsia tetap tidak bisa membenci Rafi.

Sejahat apapun Rafi, sekejam apapun papanya, ia tetap tidak bisa membencinya. Ia tidak pernah lupa kebaikan Rafi yang telah membesarkannya sampai sekarang, namun untuk saat ini mungkin ia akan menenangkan hati terlebih dahulu.

"Gue nggak akan lupa, Tan. Gue cuma pengen nenangin hati dulu, lagipula kata Tante mental gue itu penting," ujar gadis itu.

"Sangat penting. Kamu hanya perlu waktu supaya lukamu lekas sembuh. Beri jarak kalo memang orang itu menyakitimu," kata Hana.

Tiba-tiba saja terdengar adzan Magrib dengan sangat jelas di telinga kedua perempuan itu hingga membuat keduanya terdiam sampai adzan itu selesai.

"Udah adzan, ayo sholat ke masjid!" ucap Hana yang mengubah posisinya menjadi berdiri.

Celsia terdiam. Ia menatap Hana yang sudah berdiri di ambang pintu. Ia sudah lupa kapan terakhir dirinya sholat, bahkan ada beberapa bacaan sholat yang mungkin sudah terlupa.

"Tante aja, gue udah terlalu jauh nggak mungkin Tuhan mau menerima ibadah gue lagi. Apalagi di saat gue lagi sedih doang datangnya," kata Celsia yang tersenyum hambar.

"Bukankah setiap manusia juga gitu?" Hana berjalan kembali mendekati Celsia. "Kalo udah terlalu jauh bukan berarti nggak bisa dekat lagi 'kan?"

"Gue malu... "

"Tuhan lebih suka pendosa yang gemar bertaubat, daripada orang alim yang nggak mau merasa salah. Kalo udah jauh ya usaha supaya bisa dekat lagi, bukan malah semakin menjauh. Ingat Cel, semua jalan hidup kita itu sudah di atur sama Tuhan, kita nggak akan bisa hidup tanpa adanya Tuhan."

Promise Me ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang