02|Rumah dan Pondasinya

80 36 24
                                    

Yang manis tak akan jadi manis tanpa antagonis.

****

Setiap hal di di dunia punya alasan untuk hadir. Kecuali cinta yang tak pernah bisa ditebak apa inginnya.

Layaknya hujan yang jatuh ke bumi, alasannya hadir tak lain untuk menumpas kemarau yang panjang.

Begitu pun kewaspadaan Pak Haikal akan kehadiran Bintang, bukan tanpa alasan.

Kemarin, baru beberapa minggu alasan itu kejadian. Dimana Bintang yang baru selesai dari kegiatan ekskulnya tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ekskul lukis tanpa permisi, teriak-teriak mememanggil nama Pandu untuk segera pulang bersamanya.

Masalahnya bukan hanya karena ketidak sopanan dan etika Bintang yang dirasa kurang, kelakuan gadis itu juga membuayarkan konsentrasi melukis mereka. Situasi kelas yang tadinya terasa menyenangkan mengenai bahasan sudut pandang pelukis, malah hening karena kehadiran Bintang yang menganggu.

Sederhananya, Pak Haikal tidak ingin ada gangguan sekecil apapun dari manusia cilik bernama Bintang.

"Cemberut mulu, jadi jalan nggak nih?"

Bintang memutar bola matanya malas, melangkah bersama di sebelah Pandu dengan perasaan kesal.

"Guru lo tuh, ngeselin. Selalu sensi sama gue."

Bintang itu lagi marah, lagi nggak mood, lagi sebel juga. Kenapa sih di dunia ini harus kenal sama Pak Haikal? Guru seni budaya yang tiap ngajar cuma sibuk bahas masalah pribadinya dan membanggakan keluarganya.

Bintang tuh ya, sampai hapal sama alur cerita dia yang tiap hari disuruh nikah dan cari madu buat istrinya karena di lima tahun pernikahan mereka istrinya belum bisa melahirkan seorang anak. Bukannya membela sang istri dengan tulus baik dan benar dia malah jadi sok pahlawan.

"Kalau pun dipikir-pikir saya rugi ya karena sudah menafkahi tapi tidak diberikan keturunan." 

Dan dengan bangganya bilang,"Saya ini setia, sekalipun istri saya kata orang bukan wanita seutuhnya. Tapi karena saya sudah terlanjur menikahi dia tanpa test drive dulu istilahnya, ya saya akan terima baik buruknya."

Cih, terlanjur katanya. Hello, itu juga sudah kewajiban dia kali untuk menerima kekurangan pasangan. Kalau masalah keturunan kenapa jadi salah pihak wanita saja bukannya pihak pria juga harus diperiksa kan ya? Kali aja benihnya yang buruk, jangan salahin tanamannya nggak berbuah.

"Lagi cape aja kali dia, tapi tadi dia ngajar  asik kok. Ketawa-tawa bareng malah."

Bintang memutar bola matanya malas.

"Ya kan itu sama kalian, sama gue mah boro-boro. Gue nggak akan pernah lupa ya gimana ngeselinnya dia di kelas seni budaya kemarin."

Bintang tahu dia tidak pintar melukis, dibandingkan menggambar bentuk yang sempurna gambarannya mungkin lebih terkesan abstrak. Bintang sadar bahwa melukis itu kekurangannya tapi paling tidak dia berusaha. Mau mencoba meski hasilnya tidak sehebat yang lain.

Bukanya dihargai, Bintang malah diledek habis-habisan, di katai tidak niat lah. Dibandingkan dengan pandu, bahkan disebut tidak bisa mengenali warna.

Padahal dia yang buta, hatinya yang buta sampai tidak bisa lihat bagaimana kerasnya usaha Bintang menyelesaikan lukisan.

Bintang nggak akan pernah lupa, pokoknya sampai kapan pun itu akan jadi dendam buat dia. Pak Haikal bakalan dikenang sepanjang sejarah.

"Enak ya jadi Pak Haikal, bakalan diinget terus dong sama lo." ledek Pandu membuat Bintang langsung mendelik.

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang