20|Rencana vs Realita

9 7 0
                                    

Yang indah namun sering mematahkan—ekspektasi.

***

Katanya memberi kesempatan kedua itu ibarat membiarkan diri kita terjatuh pada lubang yang sama dengan ujung patah yang dua kali lipat lebih parah. Kesempatan kedua itu, semacam membaca buku dengan ending yang sama dua kali dimana sudah pasti 99% hasilnya hanyalah ekspektasi yang sia-sia.

Namun, Pak Kardi tak ingin hal itu terjadipada Bintang. Ia tak ingin memberikan pengharapan yang pada akhirnya mematahkan bayangan gadis itu. Pak Kardi pernah salah, pernah terlalu jahat dengan mengikuti alur emosi hingga kepercayaan Bintang memudar, jadi dia ingin memperbaikinya sekarang. Melakukan berbagai usaha demi kemungkinan diterima kembali, sama seperti sebelumnya. Pak Kardi hanya ingin sosoknya berharga dimata anak-anaknya sekalipun pernah ada jejak kelam dimasa lalunya.

Namun usaha tak semudah tekadnya, bahkan setelah banyak keringat yang bercucuran buah usahanya masih belum bermunculan. Ternyata sukses tak bisa jadi sesederhana itu, karena sekedar niat aja nggak cukup. Sekalipun udah usaha masih aja ada kendalanya. Entah gagal lah, tak sesuai ekspektasi, di tolak atau bahkan tiba-tiba jadi hilang minat. 

Memulai selalu sesulit itu...

"Gimana caranya bisa dapat uang, kalau dari sekian lamaran nggak ada yang masuk?" menatap penuh keluh pada langit biru diatas sana, Pak Kardi tampak menghela panjang. Pria yang kini  duduk di  pinggiran jalan, berteduh dibawah pohon rindang sembari mengipasi diri dengan denngan map coklat berisi surat lamaran kerja, daftar riwayat hidup dan ijazah terakhir. Baru mulai mencoba tapi rasanya sudah ingin menyerah saja.

"Mencari kerja selalu sesulit ini, andai aja dulu nggak memilih berhenti kerja. Pasti aku sudah punya banyak tabungan, punya biaya untuk sekolah Orion dan Bintang."

Pak Kardi tersenyum getir, kembali meratapi jejak nasib dan perasaan bersalah atas keputusan masa lalu yang berdampak parah di masa sekarang. Jadi kembali teringat pada tanggapan dari perusahaan-perusahaan tempat ia mengajukan lamaran.

Beberapa bilang "sepertinya kami perlu mempertimbangkan dengan manajemen, bapak bisa meninggalkan nomor teleponnya nanti akan kami hubungi kembali."

"Maaf pak, lowongannya sudah tidak tersedia."

"Benar lowongan tersedia, asal bapak berkenan bayar uang admin mungkin berkas lamarannya bisa kami proses lebih awal."

Atau yang lebih parah, "bapak beneran mau lamar kerja disini? Kita cari salesman pak, yang berpenampilan menarik bukan mencurigakan."

Pak kardi mengusap wajah, andai masih merawat diri dengan baik mungkin mencari pekerjaan tidak akan sesulit ini. Andai skillnya lebih diasah, andai ia tak keluar dari pekerjaan lama dia pasti tak akan seperti sekarang. Hilang arah. Namun menyesal hanya sia-sia, perasaan bersalah itu bahkan tak mampu meredakan dahaga setelah seharian berkeliling.

Ngomong-ngomong perihal dahaga, Pak Kardi jadi teringat akan air minumnya. Mengurungkan niat untuk segera meneguk setelah membukan tutupnya, dia malah tersenyum memandangi kemasan botol air mineral pemberian Bintang. 

Minum pertama pemberian Bintang, setelah malam yang mematahkan. Hatinya bergemuruh dan hangat, tekad itu muncul lagi. Bagaimanapun, usahanya kali ini harus berhasil.

"Mendapat pekerjaan kantoran memang sulit sih, tapi aku nggak bisa nyerah gitu aja. Bagaimanapun Orion harus lanjut sekolah, aku bakalan terus kirim lamaran sampai keterima. Tapi aku nggak bisa diam dan nunggu selama itu,"

"aku harus punya opsi lain. Pilihan yang paling tidak bisa sekedar membantu."

Dicari kuli panggul:

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang