4|Rumah yang Semestinya

61 19 10
                                    

Setidaknya dari banyaknya duri, masih ada daging yang semesta sisakan.

***

Kemalangan mungkin hadir menimpanya secara berulang. Semesta mungkin jahat memberikan ia sepetak rumah yang terlalu sempit dengan pondasi kuno yang nyaris hancur, tapi dalam hidup suka dan duka selalu berdampingan kan?

Kalau patah temannya cinta, kalau hancur temannya pulih, berarti malang temannya beruntung kan?

Dan ya, Bintang mendapatkan satu keberuntungan itu. Berteman dengan Pandu adalah sebuah tiket emas yang membuat Bintang selalu bisa menyaksikan dengan gratis bagaimana suasana rumah yang semestinya. Meski pernah bahagia tapi terlalu lama bersedih juga sesekali membuat Bintang lupa akan kehangatan rumah seperti apa, beruntung ia punya Pandu teman sekaligus pemilik rumah dengan pondasi yang layak disebut rumah.

Bintang mengetuk pelan pintu rumah Pandu, tersenyum hangat ketika Ibu Pandu datang menyapanya dari balik pintu. Setelah menemani Orion sarapan, gadis itu tidak langsung pulang ke rumah melainkan menyempatkan diri untuk mampir sejenak ke rumah Pandu yang tidak terlalu jauh.

Jika dibandingkan dengan miliknya rumah ini jelas lebih unggul. Bukan hanya dibidang kemewahan, harga jual tapi juga kehangatan dari cinta penghuni rumah. Sebuah paket komplit yang menimbulkan secuil rasa iri.

"Bokap lo nggak kerja Ndu?" tanya Bintang yang kini ikut sibuk membantu Pandu mencuci cangkir di wastafel rumah mereka.

Jika Pandu asik menyabuni dan membilas Bintang hanya mengambil bagian untuk mengelap saja.

"Libur Bi, kan hari minggu. Jatah ngedate sama Bunda, tuh. Kebetulan aja bunda lagi mau kedatangan temen-temennya buat arisan jadi Ayah full di rumah."

Bintang mengangguk paham, menatap sekitaran dapur yang ramai di huni jajanan manis. Pantas saja, sedang ada acara rupanya.

"Enak ya jadi orang kaya, duit ngalir bahagia juga jalan terus." Pekik Bintang membuat Pandu tersenyum miring dengan tawa kecil.

"Ini maksudnya apa nih, tiba-tiba nyindir?"

"Enggak, cuma mau berterimakasih aja. Keluarga lo baik banget sama gue."

"Ayah lo asik bolehin Orion main PS dan bahkan ditemenin. Nyokap Lo juga welcome banget sama gue, banyak bersyukur Lo Ndu!"

Pandu hanya mencebikkan bibir menyanggah.

"Tanggung pujian lo, gue gantengnya mana kok nggak disebut juga?"

"Alay lo!" tuding Bintang dengan tatapan tajam membuat Pandu langsung tertawa lepas.

"Jadi datang cuma mau bantuin gue cuci gelas, gue kirain ada yang penting."

Bintang menghela napas panjang, tangannya berhenti bergerak dengan tatapan menerawang ke arah langit-langit rumah Pandu.

"Gue pengen Orion juga bisa dapat kasih sayang seorang Ayah, menurut lo bisa nggak ya?"

Pandu menghentikan pergerakannya, baru sadar jika arah dari pembicaraan mereka sejak tadi bukan bercandaan.

"Kalau Bokap pulang ke rumah, gue gimana ya Ndu?"

Pandangan keduanya beradu, dan detik itu juga pandu sadar ada sebuah dilema yang Bintang jelaskan lewat tatapannya.

"Lo sempet ketemu Bokap lo?"

Bintang menggeleng, hanya mengulas senyum tipis dan melanjutkan kegiatannya mengelap cangkir-cangkir yang basah.

"Kemarin Nyokap cuma bilang gitu doang, tapi pas gue sarapan bubur di Mang Dani tadi. Gue denger tetangga gosipin soal Bokap."

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang