Nampak pasti belum tentu benar, nampak semu sudah pasti fana...
***
Kesalahan memang hal biasa yang sering dilakukan seseorang, baik didasari kesengajaan mau pun tidak kesalahan selalu berhasil menciptakan sebuah perdebatan. Namun cinta Tuhan yang paham akan detail kecil bahwa manusia tak luput dari tempatnya salah semesta menghadirkan sebuah kata permakluman yang meskipun tak mampu menarik kembali kesalahan tapi cukup menghibur perih.
Maaf, empat huruf sederhana yang nyatanya pengucapannya tak semudah itu. Bukan, bukan karena pelafalan yang sulit hanya saja terkadang gengsi membuatnya tak bisa terucap. Tak percaya, coba saja tengok sosial mediamu. Ada banyak sekali kutipan maupun konten tentang sindiran halus dari korban yang parahnya dilukai tanpa pernah diucapkan maaf, atau si pelaku yang bimbang harus menyampaikanya dengan cara seperti apa.
Perasaan dilema yang sama, seperti rasa bersalah Pak Kardi yang berhasil membawa langkahnya hingga ke depan pintu gerbang sekolah tempat Bintang menuntut ilmu. Jika ditanya mengapa, dia juga bingung kenapa melakukan ini. Tak tahu darimana nurani yang tersisa di hatinya tergerak untuk sekedar berbaikan dengan Bintang. Pak kardi tak ingin berbuat banyak, hanya ingin sekedar menjemput Bintang, mentraktir es krim lalu pulang bersama. Sesederhana itu...
Sayangnya sekolah ini terlalu ramai, terlalu besar untuk Pak Kardi yang datang tanpa tahu pasti tata letak kemana ia harus mencari keberadaan Bintang. Hanya bisa berdiri di depan gerbang sembari celingukan mengamati satu persatu manusia yang lalu lalang. Karena terlalu sibuk menatap sekeliling dia tak sadar akan kemunculan sebuah mobil merah yang melaju kearahnya dengan penekanan kuat pada kalkson hingga berhasil membuat sekeliling menoleh dan gerak refleknya yang langsung melipir ke pinggir.
"Aleen, pelan-pelan anjing." pekik seseorang di dalam mobil.
Sementara Pak Kardi sibuk mengusap dada, tiga orang siswa terlihat turun dari mobil mereka.
"Yaampun Bapak, kenapa berdirinya di depan gerbang sih? Harusnya tuh depan lampu merah Pak biar dapet uang."
"Aleen!" tegur seorang gadis dengan rambut sebahu dengan nama Dewi yang tertulis pada name tag di seragamnya.
"Bapak nggak apa-apa kan Pak?" ujar Bagas yang hanya dibalas gelengan oleh Pak Kardi sebab masih terlalu kaget akan kejadian yang tiba-tiba.
"Kalau boleh tahu, bapak ada perlu apa ya disini? Barangkali kita bisa bantu."
"Saya mau jemput anak saya, Bintang. Kalian ada yang kenal Bintang?"
Ketiganya saling memandang, "Bintang anak kelas sebelas Mipa empat bukan? Nama lengkapnya siapa pak?"
"Saya nggak tahu kelas berapa, namanya Bintang Fazeela." sahut pak Kardi merasa miris sendiri karena bahkan ia tak tahu Bitang sudah kelas berapa sekarang. Sementara ketiga siswa itu terlihat ber-oh ria.
"Kalau Bintang itu kita tahu Pak, tapi kebetulan hari ini dia nggak masuk."
Pak Kardi mengernyit, bagamana bisa Bintang tidak datang ke sekolah bukannya anak itu tadi pergi dengan memakai seragam?
"Eh tapi bentar deh, bapak beneran Ayahnya? Kok anaknya nggak masuk malah nggak tahu sih, kalian beda alam ya?"
"Aleen. Mulut lo." peringat Dewi mencubit pelan lengan gadis itu dan memberikan tatapan tajam berharap gadis itu bungkam tapi malah tidak diindahkan.
"Ya bener kan, gue inget tadi dia ada chat. Oh jangan-jangan Bintang bolos lagi, apa sama Pandu ya kan mereka berdua barengan nggak masuknya, apa mungkin mereka?" Aleen segaja menggantungkan kalimatnya, menutup mulutnya dengan kedua tangan berpura-pura kaget membuat Dewi dan Bagas menghela napas karena terlalu lelah akan tingkah gadis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophile|Sudah Terbit
Teen FictionKenapa harus langit? Karena di sana bintang hidup. *** Pandu Bagaskara memiliki keinginan besar untuk menjadi langit bagi gadis yang paling dicintai. Ingin jadi tempat Bintang bersinar katanya. Padahal sekeras apapun Pandu mencoba, menjadi langit u...