18|Perjanjian Tertulis

11 7 0
                                    

Siapa yang tahu, kalau semesta punya kejutan semenarik itu.

***

Kadang manusia memang begitu kan? Susah bersyukur!

Saat ada di caci, hilang di cari, yang nampak diabaikan yang jauh dikejar. Manusia itu terlalu identik dengan penyesalan, dibandingkan memanfaatkan kesempatan dengan baik. Mereka lebih gemar mengikuti ego yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan.

Manusia memang seringnya begitu kan. Senang berkelana tapi tak suka membawa peta, kalau sudah sesat lupa arah pulang baru tuhan yang mereka rutuki. Kenapa merenggut, padahal sendirinya terlalu lama menyadari.

"Papa mana?" Tanya Bintang santai sembari menarik kursinya bersia menyantap sarapan.

Ibunya mengernyit, sosok dengan lingkaran hitam di bawah matanya itu tampak mengernyit dan mengurungkan niatnya menyantap nasi goreng sisa kemarin. Olahan nasi, garam dan beberapa irisan cabai tanpa kecap dan saos.

Asal sempat melewati tahap penggorengan, olahan nasi sesederhana itu sudah termasuk nasi goreng spesial bagi golongan mereka.

"Tumben kamu nanyain dia, biasanya paling sebel soal papa."

Bintang meradang, diam-diam merutuki diri membuat sang Ibu yang menatapnya hanya menampilkan senyum tipis.

Enggan mengusik, tahu betul bahwa Bintang tengah di gerogoti gengsi. Wanita tua itu mengambil lembaran kertas yang bersembunyi di kursi sebelahnya, menggeser letaknya ke dekat Bintang.

"Papa kamu titip ini, dia berangkat pagi-pagi buta. Katanya mau cari kerjaan."

Bintang penasaran, masih belum menyentuh makanannya memilih membaca seksama apa yang tertuang dalam kertas dipenuhi coretan tulisan tangan.

Surat perjanjian ternyata, Bintang jadi merasa sedikit tersentil. Siapa tahu seberapapun niat pria tua itu berubah, tapi dengan kertas ini Bintang cukup terkagum. Jadi penasaran, seberapa jauh pria tua itu akan berusaha ya?

"Kamu yakin mau keras terus sama papa? Biar bagaimanapun dia ayah kamu Bi."

"Baik buruknya papa kamu, darah kamu mengalir karena dia."

Bintang bingung, kenapa sih orang tua selalu senang memaksa? Dibanding meminta maaf dengan tulus, embel-embel kalimat 'biar bagaimanpun dia ayah kamu' terdengar seperti kalimat pemaksaan halus yang terlalu memuakkan.

Lalu kenapa jika dia Ayahnya Bintang? Apakah hal benar dan wajar kalau Bintang di tinggalkan, bahkan tanpa pesan apapun.

"Aku nggak pernah minta dialiri darah sama dia, aku jadi anak Papa juga karena Mama kan yang salah pilih suami." Tukas Bintang, menandatangani surat tersebut dan melipat rapi sebelum di simpan ke dalam saku.

Bintang kesal setengah mati, sudah berusaha menahan diri tapi mulut ibunya masih belum berhenti. Membuat muak saja!

"Bintang, Mama sayang loh sama kamu, Mama nggak mau kamu salah langkah. Jangan terlalu keras kepala."

"Kayak mama nggak aja, Mama juga sama kan. Berapa kali aku bilang pisah nggak pernah mau denger, padahal yang susah disini bukan cuma mama. Aku juga sakit Ma!"

Bintang mengambil sendok dengan gemetar, bukan karena terlalu lapar tapi terlalu emosi.

"Bintang..." Pekik sang ibu membuat Bintang muak dan melempar kasar sendok di genggamannya hingga menimbulkan bunyi ketika jatuh keatas piring.

"Ma, bisa nggak berhenti nuntut aku?"

"Mama bahkan harusnya bersyukur Bintang masih mau bersabar dan biarin papa numpang disini."

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang