19|Sebotol Minuman

10 7 0
                                    

Maaf ya aku senyam-senyum berulang, this is Camayang.
Calon mantu, tersayang!

***

Naik, turun. Patah sembuh, tumbuh dan hancur. Dalam beberapa tahun semesta tampaknya berputar begitu cepat ya. Rotasi waktu yang terlalu cepat untuk manusia-manusia dengan pemikiran lambat dan pertimbangan ragu-ragu penuh kebimbangan.

Pak Kardi adalah salah satu orang yang pernah tenggelam dalam keraguan. Ragu antara menyerah pada takdir, atau menentang dengan lantang. Padahal kalau dipikir kedua punya pucuk yang sama, patah. Tapi pak Kardi terlalu keras kepala.

Masih berusaha, padahal bukan saja sayap kakinya juga ikut patah. Dia berusaha, menambal luka dengan kebaikan yang justru timbulkan dua prasangka.

Benar atau salah.

"Buat Papa."

Benar, dia tersentuh. Pada sebotol air mineral dingin yang Bintang ulurkan dengan raut datar tanpa senyum yang meskipun begitu tetap terdengar manis oleh panggilan sederhana, Papa.

Bintang mengambil duduk di sebelah Pandu, tampak cuek ketika Ayahnya membuka botol minum dan mulai meneguk. Sedangkan Pandu tampak berjaga-jaga, menahan rasa takut kalau tiba-tiba diusir seperti kemarin.

"Kalian nggak berangkat sekolah, sudah jam berapa ini nanti terlambat."

Tuh kan, alamat diusir nih.

"Aku nggak tau kalau papa bakalan kesini." Potong Bintang cepat mengambil sepenuhnya atensi Pak Kardi sementara Pandu menutup mulutnya mengurungkan niat menjawab ucapan pak Kardi.

Tampaknya dia harus menyimpan suaranya. Ini bukan panggung Pandu sekarang. Suasana ini juga, terlalu mencekam. Kedua Ayah dan anak itu bahkan saling berbincang tanpa memandang, sibuk menatap langit.

"Kata mama mau pergi kerja, tapi malah ketemu disini. Kenapa?"

Pak Kardi tersenyum tipis, meletakkan botol minumnya dan menghela panjang. "Papa cuma nggak terima Orion di perlakukan seperti itu. Jadi Papa pikir Orion bisa dapat keadilan."

"Terus uangnya, papa yakin bisa?"

Faktor ekonomi, adalah penghalang besar yang terlalu sulit mereka abaikan. Tumbuh jadi keluarga menengah kebawah membuat mereka kadang tak punya keputusan. Semuanya terlalu bergantung pada takdir.

"Papa bakalan berusaha, Orion harus lanjut sekolah di tempat yang aman. Sekolah yang mendidik bukan merendahkan Orion, dia pasti bisa jadi anak hebat."

"Kenapa baru sekarang?"

Binar dimata Pak Kardi redup lagi, semangatnya menyekolahkan Orion berubah jadi perasaan menyesal.

"Kenapa nggak dari dulu papa berjuang buat Orion?"

Salah, jelas Pak kardi sudah melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan anak baik seperti Orion, dia bahkan sampai kehilangan segalanya sekarang semuanya hanya karena emosi sesat yang membutakan.

"Karena Papa baru sadar kalau Orion seberharga itu."

Ayah dan anak itu kini saling memandang, menelisik kedalam mata masing-masing selama beberapa detik.

"Telat Pa, Papa udah terlanjur gagal jadi ayah." Ucap Bintang, Pak Kardi mengangguk setuju.

"Papa tahu, tapi lebih baik telat dari pada tidak sama sekali kan?"

"Orion anak baik, dia berhak ngerasain bahagia."

Hati Bintang menghangat, tapi terlalu takut untuk untuk percaya. Gengsi mengakui, bahwa ia senang akan perubahan ayahnya hari ini.

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang