12|Sesederhana Senyum

28 10 10
                                    

Kalau dibilang baik, kamu terlalu banyak memberi luka. Kalau disebut jahat, kamu terlalu penuh cinta.

***

Kalau tentang mitos, kira-kira kalian percaya berapa persen? Kalau soal perumpamaan, kira-kira bobot validitasnya berapa? Bukan peribahasa sulit, sesederhana perumpamaan yang mengatakan bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Kalau orang tua lain sibuk memperebutkan anak mereka akan mirip ibu atau ayah, maka Pak Kardi tak ingin anaknya menyerupai siapapun. Ayah yang tak henti menimba dosa dengan kegemaran menebar nafsu disana-sini, atau ibu dengan sikap diam-diam yang menghancurkaan. Baik Ibu ataupun Ayah, keduanya sama tak ada hal baik yang bisa diturunkan.

Karena sekarang Pak kardi justru tengah ketakutan, apakah Bintang mungkin sama? Apakah Orion juga akan mengikuti jejaknya? Pergaulan bebas, pernikahan dini dan pada akhirnya kenakalan yang menyia-nyiakan keluarga karena belum puas akan masa muda.

"Aku pulang..." Teriak Bintang membuat pak Kardi bangkit menatap Orion yang langsung berlari memasuki kamar sementara Bintang sibuk melepas sepatu dan menyusunnya di rak.

"Habis bolos kemana kamu?" Tuntutnya tanpa basa-basi membat Bintang mengernyit dan memutar bola matanya malas.

"Bukan urusan Papa. Orang kolot kayak Papa, paham apa sih sama urusa  anak muda?"

"Bintang! Jangan kamu pikir, Papa  nggak tau ya. Kamu nggak masuk sekolah kan hari ini, pergi kemana kamu sama anak berandalan itu?" 

"Sudah berani ya kamu bohongin Papa, begini ajaran mama kamu? Pasti anak itu bawa pengaruh buruk buat kamu, mulai besok kamu nggak usah temenan sama dia lagi! Papa nggak suka."

Bintang terkekeh, masih dengan raut angkuh menatap remeh sang ayah dan segala kilat amarahnya.

"Pa, berapa kali sih aku harus bilang? Aku bahkan nggak perlu izin papa lagi buat pergi. Lagian ini hidup aku Pa, dari pada ngurusin aku kenapa nggak urus diri Papa sendiri aja sih?"

"Sadar Pa, dibanding aku yang bolos sekolah kelakuan Papa jelas lebih busuk. Jadi nggak usah sok keras soal kedisiplinan kalau hidup Papa aja nggak pernah pakai aturan!" selak Bintang yang hendak beranjak namun keburu di cegat oleh genggaman sang ayah.

"Kamu ini kenapa sih? Papa kayak gini karena Papa sayang sama kamu, kalau kamu marah sama Papa jangan begini Bintang, pukul Papa jangan sakitin diri kamu sendiri."

"Kalau kamu pikir, pergaulan bebas bisa jadi pelarian kamu salah. Anak laki-laki itu harus kamu segera jauhi, sadar Bintang dia cuma akan merusak masa depan kamu."

"Papa tahu Papa salah ninggalin kamu, tapi tolong jangan hukum Papa dengan melakukan hal yang akan merugikan diri kamu sendiri. Pikirkan masa depan kamu Bintang."

"Udah?" Potong Bintang cepat dengan senyum manis yang mengembang.

"Jadi udah berapa botol miras yang Papa teguk sampai pidatonya bagus kayak gini?"

Bintang terkekeh, melepas gengaman sang ayah dan bersilang dada menatap takjub.

"Setelah semuanya, baru sekarang Papa pikirin masa depan aku? Setelah semua hal buruk yang Papa buat, baru sekarang papa mikirin aku?"

Bintang tertawa lagi, tapi kini buliran tangis juga jatuh seiring perasannya yang sesak.

"Papa tahu nggak sih, aku bahkan udah nggak berharap apapun tentang masa depan aku? Setelah Papa pergi, setelah semua orang tahu busuknya rumah ini, aku bahkan nggak punya harapan apapun lagi Pa."

"Dan soal pria itu, namanya Pandu. Ya, aku bolos sama dia aku nggak perduli kalaupun nanti dia bakalan merusak masa depan aku. Karena sejak awal, masa depanku sudah hancur Pa, udah rusak karena Papa!"

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang