22|Langkah Kecil

9 6 0
                                    

Hidup adalah takdir, usahamu hanya bagian terkecil.

***

Hidup terlalu sulit untuk diterka, siapa yang tahu hari esok akan jadi seperti apa. Apakah kita masih berjalan di rute yang sama, apakah masih bisa menggenggam harap yang sama, atau mungkin telah terjadi pergeseran dari patah menuju tumbuh, jatuh ke sembuh atau bahkan sebaliknya?

Sebaik-baiknya usaha, hidup terlalu berpatokan pada takdir. Siapa yang bisa menentang hujan yang jatuh, bahkan tak satupun mampu menggeser petaka. Hidup terlalu semaunya, tak perduli bagaimana harapan diperjuangkan dia tetap saja angkuh, masa bodoh dengan usahamu.

Acuh atas usaha keras yang terlalu melelahkan.

"Ini upah buat hari ini ya, besok usahakan dating lebih pagi lah. Masih banyak barang yang belum sampai."

"Oke pak, terimakasih."

Pak Kardi mengulas senyum tipis, mengambil botol sisa air minumnya dan bergerak ke sisi toko untuk sekedar melepas lelah.

Hari ini ada banyak barang yang harus diangkut, karena teman kerjanya meliburkan diri jadi dengan terpaksa semua dibebankan pada dirinya. Tak masalah, justru bagus dia jadi dapat banyak uang meski berarti harus bekerja dua kali lipat lebih keras.

"Tinggal sedikit lagi." Pak kardi tersenyum cerah, paling tidak sekarang ia bisa bernapas lebih lega. Uang yang terkumpul cukup untuk Orion, selanjutnya tinggal memikirkan bagaimana dia melunasi tagihan biaya sekolah Bintang, terlebih sebentar lagi anak itu akan ujian.

Dia harus bergerak lebih cepat, bagaimanapun ini tak boleh mengganggu konsentrasinya.

Pak Kardi menarik benda pipih dari kantong celananya, mengeluarkan ponsel lalu bergulir menuju galeri.

"Sebentar lagi ya nak, kita pasti pulih." Pak Kardi mengulas senyum, ditatapnya foto kecil Bintang yang tersisa satu-satunya di galeri.

Sudah banyak yang hilang, begitu juga dengan komunikasi manis keduanya.

Jemari pak Kardi beralih lagi, menggeser satu persatu foto surat sampai ke gambar paling akhir.

"Menggemaskan..."

Itu foto Orion semasa kecil, tepat ketika putra kecilnya baru lahir ke dunia. Moment membanggakan yang ternyata memutar roda kehidupannya terlalu keras.

Hari dimana dia sadar, bahwa ia tak pernah memiliki apapun di dunia ini. Tidak dengan cinta istrinya, tidak atas kedua anak-anaknya.

Orion dengan kondisi yang memprihatinkan, lahir ditengah kondisi mereka yang juga berjuang untuk pulih. Tuntutan uang membuat ia mendesak hutang dimana-mana, mencari rupiah demi keselamatan putranya. Tapi apa yang semesta bayar atas usaha kerasnya?

Kenyataan pahit bahwa Orion dan Bintang bukan anak kandungnya, keduanya lahir bukan dari dirinya.

Kenyataan bahwa dia hanya alat, yang Vani gunakan sebagai topeng untuk menutupi aibnya. Pantas dia bersikap baik, bahkan mengaku cinta. Tak heran ini semua demi nama baiknya. Karena Ghani lari, jadi dia meraih Kardi untuk menutupi semua busuknya.

"Maaf ya nak, karena kebodohan saya kamu bahkan jadi menanggung beban sebanyak ini."

Andai saja, kebenaran tidak terungkap hari itu. Andai pak Kardi tidak terjebak pada pesona Vani, mungkin semua tidak akan berakhir buruk. Mungkin Kardi berhasil menaikkan derajat keluarganya, mungkin ia berhasil menggapai mimpinya, mungkin Bintang dan Orion tak akan seperti sekarang.

Semua akan baik kan?

Pak Kardi baru saja ingin menutup ponselnya, menatap foto Orion membuat semua ingatannya naik ke permukaan. Ya itu adalah sesuatu yang paling Kardi benci, Orion terlalu mirip dengan ayahnya dan Kardi tak pernah tahan akan hal itu. Tapi tampaknya semesta belum usai bermain, kali ini ponselnya berdering menampilkan panggilan tanpa nama.

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang