15|Sisi Lain

22 9 7
                                    

kamu terlalu banyak menengadah, mari menunduk sebentar  saja.

***

Kalian pernah dengar kalimat ini? Tentang hidup yang katanya ibarat roda, kadang kita diatas kadang kala kita di dibawah. Katanya kalau senang jangan berlebihan, kalau sedih juga jangan terlalu larut. Karena hidup terus berputar, tak perduli sseberapa senangnya kita hari ini kemungkinan tangis selalu ada di esok hari. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi tangis kita hari ini jadi rasa syukur atas kedewasaan paksa yang pada akhirnya menyelamatkan kita di kemudian hari. Tapi menurut Pak Kardi hidup itu bukan roda, buat orang hina seperti dirinya hidup hanyalah sebatas berpijak pada tanah dan menjunjung langit dengan segala cuacanya.

Ya sesederhana bertahan di kehidupan keras dan menyakitkan, tetap menyembah Tuhan sekalipun setiap harinya sibuk mengumpati garis takdirnya yang tak sesuai harapan. lagi pula, kalau memang benar hidup selalu berputar, sepertinya roda hidup pak Kardi tengah rusak. Jelas, perputaran rodanya terlalu lambat bahkan jika diperhatikan dengan detail mungkin sudah tak bergerak sama sekali. Pak Kardi juga lupa kapan rodanya berputar untuk terakhir kali, mungkin ketika istri keduanya meninggal dalam dekapannya?

Rodanya berputar terlalu keras hingga rantainya lepas berhamburan. Sekarang posisinya dibawah, untuk bisa naik ia harus berusaha keras memutar roda itu tapi bagaimana caranya? Bagaimana roda itu berputar jika semua rantainya lepas dan tak ada satupun mekanik yang mau memperbaiki?

"Kak, aku datang. Kakak bagaimana disana?"

Pak Kardi terlihat duduk bersadar dengan satu tangan yang sibuk mengusap batu nisan dengan bunga-bunga yang mulai mengering. Tempat ini adalah tempat terakhir dari peristirahatan sang istri, istri keduanya yang terpaut usia 10 tahun lebih tua.

Sosok istri sekaligus kakak yang selama setahun memberi perlindungan paling nyaman dari sesaknya dunia. Pak Kardi tak mau menampik kalimat orang yang katanya Pak Kardi menikahinya karena uang. Memang benar, selama hidup istrinya selalu memenuhi kebutuhannya. Pak Kardi tak perlu bekerja dan hanya  tinggal dirumah melayani istri dan setiap bulannya akan dilimpahi kekayaan dari banyaknya aset dan kontrakan yang istrinya miliki. 

Hidupnya setahun belakangan begitu menyenangkan, tenang dan penuh bahagia sampai semesta mengambil alih senyumnya. Istri kesayangannya meninggal, tepat di pelukannya. Tanpa Pak Kardi tahu, pagi hari ketika matanya terbuka menyambut mentari, momen yang biasanya ia mulai dengan aktivitas menyiapkan makanan justru harus panik karena istri yang dipelukannya tak bergerak sama sekali.

Bohong kalau pak Kardi tak sedih, dia sedih tapi juga senang. Karena sekarang istri cantiknya sudah tidak sakit lagi. Dia sehat, dia sembuh dan bahkan sudah bisa menari bersama awan.

"Baru seminggu ya, baru seminggu kakak pergi tapi bahkan aku ga yakin bisa bertahan tanpa kakak.

Pak Kardi lelah, dia lelah mengeluh pada semesta. Dia lelah menangisi nasib buruknya, dia lelah, lelah menyalahkan takdir atas rasa sakit yang diterima. Dia lelah dipkasa ikhlas, dipaksa kuat sendirian.

"Dunia jahat kak ya, dia ngambil semuanya dari aku. Keluargaku, putriku dan sekarang kakak."

"Kakak tahu, seminggu ini aku tinggal di rumah lagi kak. Ya, rumah yang nggak layak aku sebut rumah karena bahkan itu nggak lebih hangat dari peluk kakak."

Pak Kardi tak tahu sejak kapan matanya basah, sudah berapa banyak isak tangis yang keluar mengingat seberapa buruk perlakuan yang ia terima dari orang-orang. Tetangga yang bukan saja menggosipkannya dibelakang tapi juga menudingnya secara terang-terangan, istri yang menampungnya dengan terpaksa atau bahkan Bintang. Putri kesayangannya yang sekarang benci mati padanya.

Astrophile|Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang