File 2.3.5 - She Was Too Calm as a Murderer

345 106 15
                                    

Dehaman panjang sejauh kakinya melangkah membuat Angra tak bisa menahan rasa jengkel lagi. Dia menoleh ke Ingil, rekannya, yang dari tadi bersiul menonton kegiatan festival lewat jendela. Apa lagi yang dipikirkan si tengil itu.

"Berisik! Siulanmu bikin telingaku pekak."

"Aku penasaran satu hal, Pak," ucapnya sok serius, menatap Anjalni tak jauh dari mereka. "Apa anda tidak merasa ganjil? Walau Anjalni punya motif membunuh Balewa, tapi kenapa dia begitu tenang untuk ukuran tersangka?"

Benar. Jujur, ketenangan Anjalni mengganggu fokus Angra sejak mereka menangkapnya. Dia ingat, wanita itu tadinya bersikeras bilang bukan pelakunya. Lantas kenapa prilakunya berubah sekejap ketika Ingil menemukan memo buronan Interpol di mejanya? Membingungkan.

Sepertinya kasus ini tak bisa Angra sepelekan. Mengingat Anjalni terlibat dalam kecurigaan telah membantu buronan lari, Angra tidak bisa bekerja setengah-setengah. Ini jatuhnya bukan hanya kasus tingkat kota tapi nasional.

"Ingil, aku ingin lihat rekaman cctvnya lagi."

#

Perasaan Watson ingin melakukan sesuatu yang krisis tadi. Tapi apa ya? Dia lupa karena kedatangan Aiden dan Hellen. Ditambah dia keenakan oleh cemilan yang diborong Aiden.

"Ngomong-ngomong Dan, kata satpam semalam terjadi hujan badai. Ada beberapa tenda yang terbang terbawa angin dan diperbaiki oleh Dewan Siswa dengan cekatan. Untunglah hari ini cerah dan festival diselenggarakan."

Kalau memang benar badai, berarti rekaman rusak sesaat karena gangguan listrik yang disebabkan oleh kilat. Itu memberantakkan paradigma yang sudah tersusun setengah di otak Watson. Dengan cara apalagi dia mencari alternatif untuk membuktikan keaslian video?

Dua hal yang harus Watson jabarkan: kenapa pelaku melemparkan obeng dan membuat kaca pecah, lalu senjata pembunuhan yang asli.  Jika forensik datang, ini semua akan mudah.

"Chouhane mana?" tanya Watson.

Aiden menggeleng tidak tahu. "Entah. Tadi aku mampir ke kelasnya, teman-temannya bilang dia tidak datang. Tampaknya dia sakit deh," ucapnya menyantap dengan lahap sate buah.

Anak itu sering banget sakit. Apa dia betulan tidak enak badan atau hanya berkedok sakit untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan 'Kode Artxed' yang Watson lihat saat itu? Jangan-jangan dia mau mencuri lagi.

"Aku pilih itu!" seru Hellen, menunjuk topeng angsa putih. Sekarang mereka lagi di luar gedung sekolah, berkeliling melihat-lihat dan mencoba semua stan yang ada di halaman.

Jeremy geleng-geleng. "Jelek, Hellen. Mending topeng masquerade biar kamu gagah—"

"Aku ini cewek," sela Hellen, menampol pipinya.

Mereka mampir di stan yang menjual beragam topeng setelah kenyang oleh stan makanan. Ada topeng khas China, Jepang, bahkan Inggris. Semua terlihat bagus dan menarik.

Watson memperhatikan sekeliling yang ricuh. Murid-murid dari kelas satu, dua, maupun tiga sampai siswa sekolah lain yang datang sebagai tamu, sangat menikmati acara festival. Aiden benar. Meski mereka sedang menjalani investigasi rahasia, Watson tidak boleh lupa dengan pesta besar-besaran sekolah.

Maka dari itu, kedua tangan Watson penuh dengan makanan dan cemilan. Dakkochi, yakitori, permen apel, dan sebagainya. Hmm! Hmm! Menghabiskan uang untuk berfoya-foya mengisi perut seperti ini tidak ada salahnya~

"Dan, mau sosis panggang?" tawar Aiden.

"Tanganku penuh, Aiden." Watson tidak yakin bisa menghabiskan semuanya, tapi pasti bisa karena dia sangat kelaparan! Begitu-begitu nafsu makan Watson terbilang cukup besar.

"Aku akan menyuapimu, hehe." Aiden tersenyum cerah, mengambil kesempatan di kala ada.

Watson menoleh ke kiri, ke kanan, ke belakang, dan hap!, langsung memakan setengah daging sosis tersebut. Uwah! Pedas! Kesukaannya!

"Lho? Itu bukannya Tante Selise dan Miss Asha?" Bermaksud menghapus saus di mulut Watson, Aiden justru melihat dua wanita itu baru tiba di sekolah. Aiden menyikut pinggang Jeremy yang sibuk memilihkan Hellen topeng supaya memperhatikan. "Mamamu datang tuh."

Jeremy akhirnya menoleh setelah dipelototi Aiden, memicing. Tampak Selise tersenyum dan melambaikan tangan ke arah mereka. "Mama! Apa yang Mama dan Miss Asha lakukan disini?"

"Nama tidak boleh mengunjungi sekolahmu?" ucap Selise dengan intonasi merajuk. "Mama dengar ada festival di Madoka. Karena Papamu tidak di rumah dan Mama bosan, Mama ke sini bersama Miss Asha. Healing antar wanita."

Aiden dan Hellen tersenyum lebar. "Halo, Tante! Kita bertemu lagi. Semoga tante-tante yang super cakep ini menikmati festival."

"Hohoho, menurut Tante kalian lah yang paling menikmati acara ini." Selise terkekeh.

Selagi mereka saling bertukar sapa, Asha yang sejak tadi diam menoleh, ke Watson yang enggan menyapa. Cowok itu malu karena dia memegang berbagai makanan dan memutuskan menghabiskan semuanya sebelum berbicara.

"Halo, Watson," sapa Asha. Tersenyum.

Tak pernah Watson bayangkan Asha lebih dulu menegurnya. Di pertemuan terakhir kali, first impression mereka sama sekali tidak bagus. Asha tiba-tiba menangis di depan Watson membuatnya panik, tauma ke rumah Jeremy.

Jawab apa sekarang? 'Halo juga'? Duh! Watson terkesan pria yang kaku. Watson belum pernah kebingungan membalas sapaan seseorang. Terlebih melihat senyuman wanita itu, entah mengapa Watson jadi ingin memeluknya...

HAH?! Gila apa! Astaga, Watson tidak percaya apa yang baru saja dia pikirkan. Mungkin kebanyakan makan bikin otaknya jadi sakau.

Drrt, drrt, drrt!

Hellen buru-buru merogoh handphone-nya yang bergetar. Pesan baru dari kenalan ayahnya. Dia melampirkan artikel yang Hellen butuhkan. Tidak disangka dia mengerjakan permintaan Hellen dalam waktu secepat ini. Kerja bagus.

"Permisi sebentar, Miss Asha. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Watson empat mata," ucap Hellen sopan, menyeret pemilik nama ke tepi. "Kenapa cosplay jadi patung, heh? Aku tahu Miss Asha itu cantik, tapi beliau sudah beranak dan umurnya terpaut jauh darimu."

"A-apa sih. Bukan seperti itu. Dia membuatku tidak nyaman. Itu saja kok." Watson berdeham, agak khawatir Hellen menebak isi pikirannya. "Jadi, kenapa? Wajahmu terlihat serius."

"Ayahku memiliki seorang informan. Walau tidak sejitu mendiang Violet, kemampuannya tak bisa dianggap remeh. Aku meminta tolong mencari latar belakang Miss Anjalni padanya."

"Kenapa dengan biodata Miss Adine? Stern, harusnya kamu bantu aku memikirkan cara korban terbunuh. Apakah ditikam atau dipukul. Apalagi forensik tak kunjung-kunjung datang."

Watson paling kesal ketika disambut dinding kebuntuan. Rasanya dia akan memakai segala macam perkakas seperti palu, tongkat, atau apalah untuk menghancurkan dinding tersebut.

"Mungkin dipukul kali, ya?" celetuk Aiden, ternyata ikut menyempil di antara mereka.

"Kenapa kamu berpikir demikian?"

"Habisnya dia memecahkan kaca, kan? Angin pun masuk dan membuat darah di dinding kering lebih cepat daripada di lantai supaya kita keliru menafsirkan penyebab kematian."

Sunyi sejenak. Hanya terdengar suara orgen.

Ya ampun! Dasar Watson bodoh! Bisa-bisanya dia melupakan materi dasar dalam evaluasi TKP. 'Angin dapat membuat mayat kaku dan bisa memengaruhi perkiraan kematian'. Itulah yang sering dikatakan oleh Dyana dan Daylan.

"Pintar, Aiden." Watson mengacungkan dia jempol untuk gadis itu. "Ayo kita kembali ke kantor kepala sekolah. Sudah cukup mainnya."






Detective Moufrobi : There is Only One Main Character Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang