Hei, Manis!

2.9K 148 3
                                    

Pintu KRL terbuka perlahan, Jeno melangkahkan kaki kirinya duluan untuk keluar dari gerbong kereta yang telah membawanya dari stasiun Tebet menuju stasiun Juanda.

Segerombolan penumpang lainnya buru-buru keluar kereta takut pintunya menutup kembali, Jeno yang sudah keluar gerbong terlebih dulu memilih untuk minggir sebentar di peron dan tidak ikut berdesakan untuk menyusuri tangga menuju pintu keluar stasiun.

Jeno menghembuskan napasnya lega, setelah sekitar 10 menit berdesakan di kereta, akhirnya bisa menghirup udara segar. Dari peron tempatnya turun, bisa terlihat bahwa langit malam ini sangat cerah, banyak bintang bermunculan, dan lampu-lampu dari gedung pencakar langit juga mempermanis pemandangan.

Lambat laun, gerombolan penumpang lain dari KRL sudah mulai mengosongi peron, karena mereka sudah berpindah tempat sambil menyiapkan kartu untuk tap out keluar stasiun.

Langkah sepasang kaki ramping Jeno pun akhirnya membawanya ke pintu tap out, dan dari tempatnya berdiri Jeno bisa melihat keadaan di luar stasiun yang kontrasnya – cukup sepi.

Sepi dan gelap, lumayan membuat Jeno bergidik ngeri, walau ada beberapa kios makanan yang buka di pinggiran jalan luar stasiun, tapi tetap saja, lampunya temaram.

Berhasil tap out dari stasiun, Jeno membawa tubuh rampingnya tepat ke sebelah gerobak penjual susu jahe di trotoar luar stasiun.

Si abang penjual susu jahe itu mengangguk ke arah Jeno, dan tentu saja dibalas senyum manis oleh Jeno.

Mata indah Jeno menelusuri beberapa kendaraan yang berlalu lalang, kebanyakan sepeda motor dan beberapa ojol yang sedang menjemput pelanggannya turun KRL.

Sampai pada akhirnya ada mobil SUV hitam berhenti perlahan tepat di depan Jeno.

Jendela depan di sisi penumpang terbuka perlahan, dan si sopir mobil mengedipkan matanya menggoda ke arah Jeno.

"Hei, manis! Ikut mas pulang yuk," ujar si sopir itu.

Sontak, si abang penjual susu jahe yang saat itu sedang menuang dagangannya ke gelas, menghampiri si pria hidung belang di mobil sambil marah-marah.

"Eh mas! Mentang-mentang sepi begini, jangan seenaknya ngelecehin si adek ini ya!" bela si abang penjual susu jahe sambil mengacungkan centong ke arah wajah si pria hidung belang itu.

Dibela seperti itu pun membuat Jeno senang, digigitnya pipi bagian dalam, mencoba menahan pekikan gembira.

"Aduh, maaf bang, tapi itu-"

"Apa?! Udah salah, mau ngeles lagi lo?" bentak si abang penjual susu jahe lagi.

Jeno akhirnya tidak bisa menahan tawanya, "makasih bang, tapi itu suami saya."

"Eh? Yang bener, dek?" tanya si abang penjual susu jahe tidak percaya.

Jeno mengangguk ribut sambil membuka pintu mobil, "nih bang, beneran ini suami saya kok," ujar Jeno lagi membela suaminya walau sambil menahan tawa.

"Ehehe, bang," suaminya Jeno hanya bisa mesem-mesem.

"Adek gak usah takut, jangan sembarangan ikut orang gak dikenal gitu, dek," si abang penjual susu jahe tetap tidak percaya. "Ini mau abang panggilin preman sini buat bantuin adek?"

Jeno pun jadi panik, dan sedikit kesal dengan ulah suaminya yang menggombal tidak kenal tempat.

"Beneran bang, ini suami saya," Jeno meyakinkan si abang susu jahe lagi, lalu bicara pada suaminya, "mas Hyuck, siniin KTP mas, kasih liat ke si abang."

Si abang penjual susu jahe menunggu si pria hidung belang itu mengeluarkan KTP dari dompetnya.

"Ini, sayang," Donghyuck a.k.a suaminya Jeno, menyodorkan KTP pada si adek yang tadi digodanya.

Jeno memperlihatkan KTP-nya dan KTP suaminya pada si abang penjual susu jahe.

"Nih bang, liat," ujar Jeno.

Si abang susu jahe memperhatikan dua KTP yang ditunjukkan si adek manis, lalu menggumamkan nama Donghyuck dan Jeno.

"Hoo, nama belakangnya sama..." sahut si abang susu jahe pelan, akhirnya mulai percaya.

Jeno mengangguk, "liat juga nih bang, alamatnya sama, status nikahnya juga sama, kami tinggal serumah, wong udah nikah."

*

Jeno masih belum berhenti tertawa saat dirinya menuangkan susu jahe ke gelas – dua bungkus susu jahe gratis karena si abang penjualnya merasa tidak enak telah menuduh Donghyuck sebagai om-om hidung belang.

Jeno menghampiri suaminya yang duduk lesu di sofa ruang TV sambil membawa dua gelas minuman hangat itu.

"Nih mas, diminum," Jeno menyodorkan satu gelas susu jahe untuk suaminya.

Donghyuck menggeleng, "moh," tolaknya.

Jeno tertawa kecil, "kenapa gak mau? Enak loh ini, anget juga."

Donghyuck malah meraih pinggang ramping pasangan sahnya itu untuk dipeluk protektif.

"Peluk adek juga anget kok," ujar Donghyuck manja sambil mendusalkan kepalanya ke dada Jeno.

Jeno tetap menyeruput susu jahe itu kemudian mengusap-usap kepala suaminya lembut.

"Mas gak mau minum susu jahe lagi selama-lamanya," sahut Donghyuck yang suaranya terpendam karena kepalanya bersandar ke dada Jeno.

"Susu jahenya gak salah loh mas," sahut Jeno logis, dia bisa merasakan bahwa suaminya itu malu atas kejadian di stasiun tadi.

Donghyuck hanya menggeram.

"Makanya, mas tuh kalo mau ngegombalin adek, liat sikon dulu loh mas," ujar Jeno sambil tertawa kecil.

"Euuung, emang muka mas tadi keliatan kaya om-om mesum gitu ya, dek?" Donghyuck menunjukkan wajah memelas ke arah Jeno.

Jeno menangkupkan kedua pipi suaminya, "ganteng banget gini loh suami aku."

Donghyuck pun senang mendengarkan pujian dari si manis yang sedang disandarinya itu, lalu memajukan bibirnya, meminta sesuatu.

"Sun," pinta Donghyuck.

cup

Jeno pun dengan senang hati memberikan apa yang diinginkan suaminya.

"Mau lagi," pinta Donghyuck semakin manja.

"Mau susu jahenya?" canda Jeno.

"Gak!"

Setelahnya hanya terdengar tawa Jeno, dan gerutuan Donghyuck yang mengatakan; "kamu kan emang manis, gak salah dong kalo tadi mas manggil kamu manis."

Hei, Manis! - fin

Beautiful | Jeno HaremTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang