21. Mati Rasa

128 15 20
                                    

Hallo guys!!
.
Ayok pantau terus YGY 😄
.
Siapkan tisu sebelum lanjut 🙂
.
S E L A M A T  M E M B A C A
.
.
.
.
.

Aku menatap Khadijah dan Khalid dari balik kaca besar ini. Sungguh, hatiku terasa perih sekali memandang mereka yang ada di dalam sana harus mengenakan berbagai macam alat medis untuk menopang kehidupan mereka. Ibu mana yang tidak bersedih melihat anak-anak mereka terlahir prematur dan dalam kondisi kritis seperti ini?

Sejak aku siuman dari kecelakaan yang menimpaku dan Baim beberapa hari lalu, aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap malam aku selalu menangis dan membuat semua keluargaku khawatir. Terlebih kondisi Ryan semakin parah dan akhirnya mereka semua tahu kondisi suamiku.

Aku sedikit bersyukur saat kakek dan ayah mengetahui kondisi Ryan, mereka tidak berniat sama sekali memisahkan kami seperti apa yang kami takutkan. Takut apa yang menimpa om Jeremy kala itu juga menimpa kami.

Sementara itu Baim belum sadarkan diri. Dia masih koma di ruangannya. Aku tak tahu kondisinya seperti apa sekarang. Pikiranku sudah kacau hanya dengan melihat kondisi anak-anakku dan memikirkan nasib Ryan yang dirawat di rumah sakit ini juga.
Aku meraba kaca besar ini, berharap dapat menyentuh mereka sekali saja. Khadijah. Khalid. Anak-anakku.

Tanpa sada air mataku tumpah lagi. Entah sudah berapa banyak air mata yang kutumpahkan setiap harinya.

Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dengan tangannya yang besar. Kepalanya ia senderkan pada bahuku dan memberiku kehangatan. Aroma yang sangat kukenal.

"Mereka pasti baik-baik saja," bisiknya.

"Mereka kuat seperti ibunya," lanjutnya lagi. Air mataku tumpah, membasahi lengannya. Ryan pun semakin erat memelukku. Aku bisa merasakan suara napasnya yang kian hari kian melemah.

Aku berbalik, menatap wajahnya yang memucat. Kantung matanya menghitam serta bibirnya kering. Kupeluk Ryan, bersandar di dadanya dan merasakan denyut jantungnya. Berdoa pada Yang Maha Kuasa agar Ia tidak mengambil suamiku secepatnya. Tidak. Aku harap tidak. Akan lebih baik jika diriku yang dipanggil lebih dulu oleh sang pemilik nyawa.

Terkadang aku berpikir, kenapa Allah tidak mencabut nyawaku saja saat kecelakaan itu terjadi agar aku tidak melihat penderitaan anak-anak dan suamiku?

Aku menangis lagi. Kali ini lebih kencang hingga sesenggukan. Ryan pun mendekapku dengan erat sambil sesekali mengelus punggungku dengan lembut. Aku menyesali diriku yang terus terpuruk setiap hari. Menyalahkan Tuhan hingga tak tahu diri.

Bukankah aku yang seharusnya di sini yang kuat? Aku yang seharusnya memeluk suamiku dan memberinya semangat disaat Tuhan telah menyelamatkan nyawaku. Aku yang seharusnya menghapus air mata Ryan. Namun, kenapa harus Ryan yang melakukannya?

Ryan menatapku dengan matanya yang sayu, lalu tersenyum tipis. Ia menghapus jejak air mata yang mengalir di pipiku.

"Aaf," gumamku tanpa melepas lingkaran tanganku di pinggangnya.

Lagi-lagi dia tersenyum dan memelukku kembali. Lalu mengusap punggungku dengan lembut.

~oOo~

Aku dengar Baim baru siuman. Bersama Ryan aku pergi ke ruangan tempat Baim di rawat. Ryan menopang tubuhku karena sebelah kakiku digips karena mengalami patah tulang, perlahan demi perlahan hingga kami sampai di depan ruang VIP 2. Tanganku sedikit bergetar ketika hendak membuka pintu kamarnya. Aku mengingat kembali kecelakaan itu. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawa kedua anakku dan Ryan. Bahkan mereka kini masih dalam perawatan dan kritis.

[3] Diary Aruna: Mentadabburi cinta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang