ARE YOU READY GUY?
.
.
.
.
.H A P P Y R E A D I N G
Gue dan Baim tiba di ruang bayi--tempat Khadijah dan Khalid dirawat, tepatnya di luar ruangan yang dibatasi kaca besar. Gue bantu dia buat berdiri agar lebih mudah melihat keponakannya. Baim menatap kedua bayi kembar yang harus bertahan hidup dengan alat bantu medis di tubuh mereka. Gue lihat matanya mulai berkaca-kaca.
''Ponakan lo tu,'' tunjuk gue ke box bayi yang berada dekat dengan jendela.
Entah apa yang dipikirkan bocah ini cukup lama sampai akhirnya dia menjatuhkan bokongnya di kursi roda.
''Kak Enzo ngapain bawa aku ke sini sih??'' gerutunya.
''Gak ada alasan khusus,'' balas gue. Lalu mendorong kembali kursi rodanya ke tempat tujuan selanjutnya.
''Sekarang kak Enzo mau bawa aku ke mana?'' tanyanya menengok sebentar ke belakang dan jawaban gue hanya menggidikan bahu. Baim mendengus dan menolehkan kepalanya kembali ke depan.
Tak lama kami sampai akhirnya di ruangan tempat Ryan dirawat. Melalui kaca pintu kami bisa melihat Ryan kali ini sedang menjalani kemoterapi ditemani Aruna di sisinya. Ryan menunjukkan reaksi muntah-muntah di dalam sana.
''Kak Enzo, itu kak Ryan kenapa?'' tanya Baim dengan raut khawatir.
Gue mendesah. ''Gue gak tahu ini hal yang bener atau salah kalau gue kasi tahu lo tapi, gue rasa lo juga perlu tahu.''
Baim menunggu jawaban gue.
''Jangan bilang kak Ryan mengidap penyakit parah?'' tebaknya.
Gue mengangguk. ''Udah setahun lebih dia mengidap tumor di kepalanya. Kami semua baru tahu.''
''Tapi kenapa? kenapa kak Ryan gak kasi tahu kita?''
Gue mengangkat bahu. ''Entahlah. Mungkin itu cara mereka mempertahankan pernikahan, cara agar semuanya tidak bersedih dan mengasihani mereka.''
Baim masih terlihat syok melihat kondisi Ryan yang kini nampak menderita. Wajahnya pucat bahkan semua rambutnya sudah dipangkas. Ia mengenakan kupluk rajut berwarna biru tua untuk melindungi kepalanya.
Setelah selesai melihat kondisi Ryan gue tarik kembali kursi roda Baim dan hendak membawanya ke taman di samping rumah sakit untuk menghirup udara segar. Sepanjang perjalanan ke sana hanya keheningan yang menemani kami sampai akhirnya tiba-tiba Baim meneteskan air mata.
Perlahan air mata itu berubah menjadi tangisan yang kencang yang tidak bisa dibendungi. Dia terisak sangat kencang sambil menutupi wajahnya. Pandangan orang-orang mulai beralih pada kami. Gue masa bodoh dengan hal itu. Gue biarin Baim mengeluarkan semua rasa sakit dan sedih yang ia pendam selama ini sambil terus mendorong kursi rodanya.
Sejujurnya gue juga pernah difase itu. Meluapkan segala perasaan dengan air mata dan gue harap Baim merasa lega setelah semuanya dikeluarkan.
Kami akhirnya sampai di taman rumah sakit. Gue ambil tempat duduk di kursi taman sementara Baim gue tempatkan di dekat kursi. Tangisannya mulai reda tapi masih sesenggukan. Gue merogoh saku jaket dan mengeluarkan sapu tangan dari sana lalu mengulurkannya pada Baim. Bocah itu mengambilnya, menghapus air mata dan mengeluarkan ingusnya. Gue sampai terkekeh karenanya.
''Udah nangisnya?''
''Eumm!''' Angguknya.
~oOo~
Ryan baru saja selesai dari kemoterapinya dan kembali ke ruangan tempat dia dirawat dengan aku di sisinya sebagai seorang istri. Wajah suamiku nampak pucat dan lelah. Rambut di kepalanya sudah dipangkas habis sebab kemoterapi yang harus dia jalani. Dia berbaring dan menatapku dengan senyumannya yang selalu membuat hatiku tentram. Kemudian Ryan menggenggam tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Diary Aruna: Mentadabburi cinta ✔️
RomanceSeries ketiga dari "Bidadari Yang Tak Diinginkan." Mempunyai seorang adik menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Aruna. Namun, siapa sangka adik yang ia sayangi tak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Ibrahim atau biasa disapa Baim sangat memb...