Bagian 4: 30. Air Mata Hari ini

146 14 0
                                    

Di bagian ini, kisah kembali ke masa kini.

***

Langkah demi langkah menuntun sang pemilik dwicagak menuju sebuah ruangan. Di tangannya, tergenggam seikat bunga lili putih yang ia harap akan mengundang sedikit euforia di ruangan serbaputih dan kaku nang jadi destinasinya. Berulang kali ia menghela dan menghembuskan napas, dalam hati panjatkan harap pun doa yang tak henti-hentinya ia pinta; semoga hari ini ada kabar baik.

Lama-kelamaan, berkunjung ke tempat ini menjadi rutinitas sehari-harinya. Dan sungguhpun ia harus relakan waktu luang di antara kesibukannya sebagai mahasiswa semester (hampir) akhir, ia sama sekali tak keberatan menjalaninya. Hampir setiap harinya, dengan membawa sejumput asa yang sama.

Semoga yang tersayang lekas bangun dari tidur panjangnya.

Pun ia titipkan satu lagi harapan yang tak pernah luput; semoga hari ini tidak perlu ada air mata.

Setidaknya, ada beberapa hari kala ia tak harus menangis ketika mengobrol sendiri tanpa adanya jawaban dari sang lawan bicara yang masih betah hidup di dalam dunia mimpinya.

Sepanjang langkah yang ia tempuh, sedikit tanya terselip di antara deru napasnya. Apakah hari ini ada yang menjenguk si sayang selain dirinya?

Ia harap, hanya ada dirinya sendiri sebab itu akan membuatnya lebih leluasa "mengobrol" searah.

Namun nampaknya, dewi fortuna sedang enggan berpihak padanya.

"O, halo ... Langit, ya?"

Suara seorang wanita paruh baya yang keluar dari sebuah pintu nan jadi destinasinya menyapa, pun dengan senyuman ramah di irasnya.

Jemala ia angguk, tak kalah ramah membalas senyuman hangat dari ibu tiga anak itu. "Iya, Tante. Maaf, ya, Tante, Langit mampir terus ke sini, jadi ngerepotin."

Wanita itu menggeleng, sebelah kuasanya mengusap lembut lengan atas sang gadis-Langit. "Nggak ngerepotin sama sekali, Sayang ... Tante malah senang banget kalau ada yang jenguk Sharga. Teman-temannya sekitar sejam yang lalu baru aja pulang. Silakan, silakan!"

Wanita itu-Diana namanya, ibunda Sharga, sang terkasih-membukakan pintu untuk sang dara.

"Mari, masuk? Kebetulan setelah ini, Tante harus kembali ke kantor untuk urus beberapa pekerjaan. Ada Nara di dalam, jadi Tante tinggal dulu gapapa, ya?"

Langit mengangguk, "Gak masalah, Tante. Terima kasih, ya, Tante, hati-hati di jalan."

Tak lama setelah perpapasan singkat dengan Diana, Langit melangkahkan kedua tungkainya, memasuki ruangan itu, tempat di mana Sharga (masih) terbaring tak berdaya di atas ranjang rawat inap. Seorang gadis nampak duduk di atas sebuah kursi tepat di sebelah ranjang, awalnya fokus dengan buku di tangan sebelum menyadari kehadiran Langit. Kepalanya terangkat, lantas tersenyum kala bersitatap dengan dwimanik milik Langit Utara yang indah bak obsidian.

"Halo, Kak Langit."

Langit mengulas senyum. Ia kenal gadis itu. Namanya Nara, adik perempuan Sharga. Langit meraih sebuah kursi lainnya, lantas menggesernya dan menempatkannya tepat di sebelah ranjang Sharga, berseberangan dengan Nara.

"Hai ... Nara apa kabar?" tanyanya, berbasa-basi sembari mengganti beberapa bunga lili putih yang telah mengering di vas kaca di atas nakas dengan seikat lili putih yang masih segar di genggamannya. "Lama nggak ketemu, ya? Udah semester berapa sekarang?"

Nara mengangguk, memutuskan untuk mengakhiri kegiatan membacanya. "Baik, aku semester 3 sekarang. Kakak gimana kabarnya?"

"Hebat ... aku baik, begini-begini aja, hahaha." Langit menjawab sembari tertawa kecil. Ia menempatkan diri di atas kursi, lantas memandang wajah "tidur" pemuda di hadapannya. Pucat dan tirus. Sebelah kuasanya terulur, jemarinya merayap dan bertaut di antara jemari sang tuan yang bebas dari infus atau alat medis lainnya. Tatapannya sayu. Ternyata, harapannya kembali berkhianat. Sharga belum terbangun dari mimpi panjangnya.

STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang