Cklek!
Pintu ruangan itu terbuka. Sharga yang sedari tadi menungguㅡdengan perasaan tak menentuㅡrefleks bangkit, berhadapan dengan sang ayah, Bramantius.Ia tak berkata apa pun, hanya menunggu Bramantius berbicara. Kedua matanya sedikit terbelalak, tak sabar.
Bramantius menutup pintu ruangan itu perlahan. Sebuah map ada di genggamannya. Sharga yakin itu adalah hasil pemeriksaannya."Pi, aku gak masuk lagi?" Sharga memberanikan diri bertanya sembari menunjuk ruangan itu.
Bramantius menggeleng, "Kita tebus obat, lalu pulang."
"Motor akuㅡ"
"Papi udah suruh asisten Papi datang, biar dia yang bawa motormu. Kamu naik mobil sama Papi."
Sharga tahu, ada yang berbeda dari sikap "berusaha tenang" sang ayah. Bahkan sepertinya, beliau sudah lupa perkara Sharga kabur pagi tadi. Pria itu melangkah, mendahului Sharga.
Sharga menyusul, bertanya, "... Aku sakit apa, Pi?"
Bramantius menghembuskan napas pelan. Sejenak ia bungkam, sebelum menjawab, "Kita bicarakan di rumah."
Sharga ikut bungkam, memutuskan untuk tak bertanya lebih lanjut.
***
Sharga mengekori sang ayah, melangkah memasuki rumah mereka. Dadanya semakin bergemuruh seiring langkah mereka memasuki ruang tamu.Bramantius mendekati sofa, lantas menempatkan diri di sana. Sharga mengernyit, tak biasa menghadapi sikap aneh ayahnya kini. Pria itu tak berkata apa pun. Ia meletakkan map di tangannya ke atas meja. Sharga tetap diam, menatap Bramantius yang kini memijit pelipisnya."Kamu ganti baju dulu, jangan bantah Papi."
Sharga menghembuskan napas pelan, memutuskan 'tuk menurut. Ia bergegas ke kamar, lantas mengganti bajunya. Sejenak ia merasakan sakit di kepalanya, lagi, namun ia mengabaikannya.Sudah masuk jam makan siang. Setelah minum obat nanti, ia yakin akan membaik.
Pemuda itu kembali ke ruang depan. Dwinetranya menatap sang ayah yang kini serius membaca selembar kertas di tangannya. Si sulung mendekat, duduk di hadapan ayahnya."Pi..." panggilnya pelan. Sungguh, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Bramantius mengalihkan tatapannya ke si sulung. Kini ekspresi wajahnya dapat Sharga baca. Antara kaget, khawatir, cemas, takut, pusing? Sharga tak dapat memastikannya. Bahkan Bramantius seolah tak kuasa menatapnya lama-lama.
"Satu hal, Hadyssharga, satu hal. Papi harap setelah ini kamu ikuti semua prosedur yang ada untuk menangani kamu, tanpa terkecuali. Kamu dengar Papi?"
Sharga mengernyit. Apa, sih, ini? Ia bertanya-tanya dalam hati, jengkel tentu saja. "Aku sakit apa sih, Pi? Harus dirawatkah?"
Bramantius terdiam, lagi, tak kuasa menatap anaknya terlalu lama. Dan Sharga segera tahu, itu bukanlah hal yang baik.Tak sabar, Sharga meraih kertas di tangan sang ayah. Satu lagi hal yang tak biasa; Bramantius tak marah saat Sharga melakukan itu.
Kedua matanya awas membaca deretan kalimat demi kalimat dalam kertas tersebut. Bramantius di hadapannya mengusak rambut, frustrasi. Dan saat itulah, jantung Sharga seakan terhenti melihat "kesimpulan akhir" dari apa yang dibacanya. Tubuhnya perlahan mendingin.
Entah, lemas luar biasa ia rasakan tiba-tiba setelah membaca kesimpulan akhir. Butuh beberapa detik untuk mencerna semua informasi itu. Butuh berkali-kali ia membaca 'tuk memastikan.Pemuda itu menyeringai, menggeleng. "Pi, ini salah gak, sih? Nggak, nggak. Kitaㅡkita tes ke RS lain gimana? Aku udah mendingan kok hari ini, masaㅡ"
Kata-kata Sharga terputus. Ia sadar makin lama intonasi suaranya semakin rendah, pun serupa cicitan. Rasa tercekat di tenggorokannya membuatnya berhenti berkata-kata. Sial, ada sesuatu tak kasat mata yang seolah mencekiknya. Pantas sang ayah menjadi berbeda. Pantas beliau tak kuasa menatap sulungnya lama-lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)
General FictionKisah Sharga di akun ini telah dihentikan, namun akan tetap dilanjutkan di akun lainnya. Untuk info lebih jelasnya, silakan baca bagian terakhir kisah ini. Terima kasih!