Setelah semalam menginap di kamar kos seorang kawan, siang ini Sharga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ia belum izin ke orang rumah bahwa malam tadi ia menginap, pasti mereka khawatir.
Tidak, Bi Isah—sang asisten rumah tangganya—pasti khawatir.
Lagipula ia hanya tinggal berdua dengan sang ayah yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Mana mungkin orang tua pemarah yang satu itu mengkhawatirkannya?
Sebelum pulang, Sharga menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke salah satu toko swalayan, membeli masker di sana lalu mengenakannya. Lumayan untuk menutupi wajah babak belurnya.
Saat tiba di rumah, dengan helm yang masih bertengger di iras, sang teruna terdiam sejemang. Ia melepas helm, lalu bercermin di spion motor. Lukanya di sekitar mata, batang hidung, dan pelipisnya masih jelas terlihat, tidak dapat tertutup masker.
Seharusnya ia membeli masker kecantikan saja tadi di toko swalayan biar tertutup semua.
Sharga memutar otak. Pemuda itu tidak mau ketahuan Bi Isah bahwa ia habis berkelahi (lagi), apalagi ketahuan sang ayah, walau ia lebih dari tahu ayahnya tidak akan ada di rumah di jam-jam ini. Bisa babak belur ronde kedua ia jika sang ayah tahu. Antisipasi lebih baik, bukan?
Sharga turun dari motornya setelah sekian menit hanya berdiam diri di sana. Tatapannya jatuh ke mobilnya di garasi yang terbuka, mungkin habis dibersihkan oleh salah satu asisten rumah tangga lainnya. Aha! Ia mendapatkan sebuah ide cemerlang.
Berlarian si pemuda Simbolon itu ke garasi rumahnya yang luas, agak meringis juga karena tubuhnya masih nyeri di sana-sini. Terdapat tiga mobil di sana: Range Rover, BMW i8, dan Toyota All New Camry yang biasa digunakan Pak Mulㅡsupirnyaㅡsehari-hari. Sharga memutar gantungan kunci motornya di jemari. Di sana juga tergantung kunci mobilnya. Tak butuh waktu lama, di tangannya kini terdapat sebuah kacamata hitam yang ia ambil dari salah satu mobil di sana. Beruntung ia selalu menggantung kacamata di mobilnya.
Sebelum masuk rumah, dikenakannya kacamata hitam miliknya tersebut. Mantap. Kini wajahnya telah tertutup seluruhnya berkat bantuan masker putih dan kacamata hitam itu. Terlihat lebih tampan daripada wajah aslinya yang babak belur.
Dengan kepercayaan diri setinggi Burj Khalifa, Sharga melangkah masuk ke rumahnya dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya, pun setelah sebelumnya agak berdebar saat retina matanya di-scan untuk membuka pintu utama. Beruntung pintu dan teknologi canggih di rumahnya tersebut masih mengenali matanya walau agak bengkak.
Si Simbolon menyapukan pandangan ke sekeliling rumah dengan waspada, siaga 1 2 3. Bagus, Bi Isah tidak terlihat di mana pun. Perlahan ditutupnya kembali pintu utama, lalu berjingkat ke kamarnya. Tepat saat kuasanya hampir menyentuh gagang pintu....
"Baru pulang, Bang? Semalem nginep di mana?"
'Euh.'
Sharga refleks menoleh setelah sepersekian sekon sebelumnya meringis, lalu cengengesan di balik masker dan kacamata hitamnya. Bi Isah dengan alat penyedot debu di tangannya mengernyit heran. Siapa yang tidak heran melihat orang aneh dengan masker dan kacamata hitam di dalam rumah yang sejuk?
"Ketiduran, Bi, di kosan temen."
"Oh ... kirain teh Abang ke mana. Abang kalo mau nginep, bilang dulu atuh biar Bibi nggak waswas," balas si bibi.
"Ya namanya juga ketiduran, Bi."
Bi Isah mengangguk, namun tetap menatap Sharga curiga. "Gaya pisan si Abang, di rumah pake masker sama kacamata item. Gak eungap?"
"Nggak dong, Bi. Ini biar terhindar dari ... radiasi dan debu, hehe. Abang masuk, ya, Bi?" Alasan yang tidak masuk akal sebenarnya, tetapi daripada ditanya-tanya lebih lanjut, Sharga buru-buru masuk ke dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)
Ficción GeneralKisah Sharga di akun ini telah dihentikan, namun akan tetap dilanjutkan di akun lainnya. Untuk info lebih jelasnya, silakan baca bagian terakhir kisah ini. Terima kasih!