Bagian 3: 19. Es Teh

255 24 1
                                    


WN:

Pada Bagian 2 ini, alur cerita kembali ke masa di mana ia duduk di bangku SMA, sekaligus masa-masa ketika sang tuan didiagnosis menderita apa yang kini menjadi bagian dari hidupnya dan kisah-kisah lain yang membentuknya menjadi pribadi yang sekarang. Selamat membaca!


***

Suara denting sendok dan garpu yang bertubrukan dengan piring kaca memenuhi langit-langit ruangan itu. Para penghuninya fokus dengan isi piring di hadapan masing-masing. Sesekali mereka meraih segelas air mineral dan meneguknya, kemudian melanjutkan kegiatan sarapan pagi yang sempat tertunda sesaat akibat kerongkongan yang kering.

Sepasang netra menatap wajah di seberangnya; wajah yang sama, kaku dan tanpa ekspresi. Tidak ada yang spesial. Sarapan pagi ini dingin dan hening seperti biasa. Obsidian beralih kembali ke sisa nasi goreng dengan potongan ayam di hadapannya, kemudian memberikan suapan terakhir untuk dirinya sendiri. Lambungnya sudah terasa penuh kini.

"Aku berangkat," ucap si pemilik sepasang manik tadi, ringan dan singkat, tepat setelah ia meneguk segelas air mineral di dalam gelas kaca.

Ia adalah seorang pemuda yang memiliki mata sedikit sipit, namun tajam menusuk, dengan kulit kuning langsat sedikit kemerahan yang jelas menunjukkan bahwa ia adalah peranakan Tionghoa, Batak-Tionghoa lebih tepatnya.

Ia meraih ransel hitamnya di kolong meja, lantas menyampirkannya di bahu kanan. Tanpa menatap orang-orang yang masih sibuk dengan kegiatan mereka di atas meja makan, kedua tungkai sang tuan mulai membawanya keluar rumah, menghampiri sebuah motor trail yang terparkir apik tak jauh dari pintu utama rumah bergaya modern nang mewah itu. Pemuda itu mengenakan leather jacket-nya yang senada dengan warna ransel sebelum menunggang sang kuda besi. Ia kenakan pula helm yang menutupi seluruh wajah, lantas menyalakan mesin motornya. Beberapa saat kemudian, motor trail itu meluncur cepat, menjauh dari area bangunan yang disebut rumah, membelah jalanan ibu kota yang selalu padat.

***

Sang pemuda berjaket hitam turun dari motor trail-nya dengan terburu. Setelah meletakkan helm, ia bergegas melangkah menuju gedung sekolahnya yang tak jauh dari tempat ia memarkirkan motor dengan ransel di bahu. Para siswa memang tidak diperbolehkan membawa kendaraan sendiri, dan apabila mereka tetap membawanya, maka tidak boleh diparkir di area sekolah. Untungnya, tak jauh dari gedung sekolah, terdapat sebuah rumah dengan halamannya yang luas, di mana sang pemiliknya berbaik hati menyewakan jasa tempat parkir untuk para siswa sekolah tersebut di sana.

"Jaket lo."

Sebuah tepukan mendarat di bahu kiri sang pemuda. Langkah pemuda itu sedikit melambat. Ia menoleh, kedua netranya menangkap sosok seorang gadis yang tersenyum manis. Oh, nampaknya gadis itu juga sedikit terlambat seperti dirinya akibat jalanan ibu kota yang seolah tak mengenal kata lengang.

Si pemuda menyeringai tanpa menghentikan langkah kaki. "Santai."

Di pintu gerbang sekolah....

"Selamat pagi, Simbolon," sapa seorang guru yang bertugas menyambut murid di pintu gerbang. Sang pemuda tersenyum tipis, buru-buru menyalami tangan guru muda tersebut. "Sebentar, lepas dulu jaket kamu itu," lanjut sang guru, menahan langkah sang pemuda berjaket hitam.

Pemuda itu sedikit mendengus, apalagi ketika sang gadis yang berada di belakangnya nampak menahan tawa. Sialan. Sang pemuda yang dipanggil "Simbolon" itu mengangguk singkat, lantas melepas leather jacket-nya. Ia menyampirkan jaket itu di bahunya, membuat sang guru muda yang tadi menegurnya tersenyum puas. Setelahnya, sang pemuda segera melangkah menuju ruang kelasnya yang terletak di lantai dua, bersamaan dengan gadis tadi yang terus mengoloknya.

STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang