Kejadian hari itu berlalu secepat mata berkedip. Kini dan lagi, hari ini ia harus pulang lebih cepat karena kondisi tubuhnya yang lagi-lagi tak mendukung. Dari UKS, ia melangkah perlahan menuju mobil sang ayah yang sudah menunggu tak jauh dari pos satpam. Ia tidak seorang diri, melainkan berjalan berdampingan dengan seorang gadis.
Sebenarnya, ia sama sekali tak ingin pulang. Ia ingin beristirahat saja di ruang UKS sampai bel pulang berbunyi. Karena jelas kau tahu, bagi Sharga, lebih baik ia di luar seharian daripada di rumahnya sendiri. Akan tetapi, sang penjaga UKS terus membujuknya untuk istirahat di rumah.
Entahlah, mungkin si penjaga UKS bosan akan kehadirannya selama beberapa waktu belakangan? Kini, Sharga benar-benar nampak seperti penunggu tetap UKS.
Di lain sisi, mengingat bahwa lusa ia akan bertanding, seharusnya ia ikut latihan hari ini. Namun nyatanya, ia merasa tidak sanggup. Tubuhnya menolak sang mampu untuk terus bergerak. Bahkan, diam saja pun membuat Sharga kesakitan.
"Beberapa hari terakhir, gue ngeliat lo ke UKS terus, dan gak jarang izin pulang lebih dulu. Lo sakit apa, sih, Ga, emangnya?"
Sharga refleks menatap gadis di sebelahnya yang entah mengapa ikut mengantarnya ke mobil sang ayah. Ya, gadis itu jugalah yang mengantarnya ke UKS saat jam pelajaran ketiga tadi. Seandainya ada Galih, pasti Galih yang mengantar. Sayang, Galih absen hari ini.
Sharga mengalihkan wajah pucatnya, enggan menjawab. Lebih karena ia tengah memikirkan nasibnya dan timnya di turnamen nanti. Apa ia akan sanggup bermain? Kalau tidak ... ah, ia tak bisa membayangkan dirinya tidak ikut turnamen terakhirnya di SMA karena kesehatannya.
Ia tak rela.
Si pemuda Simbolon itu mengangkat bahu, "Kecapekan aja paling, Nik."
Gadis ituㅡNikiㅡmenghembuskan napas sembari alihkan atensi. "Gue tau gak sekali dua kali aja lo begini, udah dari minggu kapan tau, kan? Gak mau coba periksain ke dokter?"
Kini, Sharga yang gantian menghembuskan napas. Tentu ia tak ingin Niki mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Ia belum siap memberi tahu hal tersebut kepada teman-temannya, termasuk Niki.
"Iya, nanti. Nik, gue duluan, ya. Makasih btw."
Sharga melangkah cepat menuju mobil sang ayah, meninggalkan Niki yang menatapnya dari kejauhan.
***
"Saya sudah bicara dengan kepala sekolah dan wali kelas kamu."
Gerakan Sharga yang hampir membuka pintu kamar terhenti. Ia menoleh, menatap ayahnya yang berdiri tak jauh di belakangnya dengan kedua kuasa memasuki saku.
"... Tentang?" tanyanya, tak paham.
AyahnyaㅡBramantiusㅡmenghembuskan napas pelan sebelum melanjutkan, "Kegiatan kamu di sekolah. Saya sudah meminta pihak sekolah untuk mengurangi kegiatan kamu, termasuk upacara bendera dan olahraga."
Sharga yang sebenarnya masih pening mengernyit. Apa katanya?
"Buat apa? Kenapa?"
"Untuk kesehatan kamu, lah!" balas Bramantius, agak keras. "Entah berapa kali kamu pulang lebih cepat. Kegiatan fisik harus kamu kurangi. Perihal ekstrakurikulermu juga, saya sudah bicarakan. Kamu lupainlah itu soal band."
Sharga tercekat. Firasatnya memburuk mendengar penuturan sang ayah. Ia tidak terima, tentu saja. Dan jangan bilang ....
"Piㅡ"
"Lupain juga soal basket."
Darah Sharga perlahan namun pasti mendidih mendengarnya. Benar firasatnya. Rasa sakit di kepala dan tubuhnya pun kalah oleh amarah. Sharga bertolak pinggang, kini benar-benar memutar tubuh, menghadap sang ayah sembari tersenyum sarkas. "Gimana, Pi?"
"Lupain semua soal kegiatan fisik. Kamu sekarang cukup fokus dengan akademik dan kesehatan kamu aja. Pihak sekolah pun setuju setelah saya kasih tau soal kondisi kamu."
Sharga menggeleng, raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tak suka. Lagipula, yang benar saja? Ayahnya mengambil keputusan atas dirinya tanpa persetujuannya, tanpa melibatkannya. Bagaimana bisa ia tidak mendidih?
"Kenapa seenaknya gitu, sih?" Pertanyaan retoris, tentu saja.
Nyatanya, sang ayah memang hampir selalu seenaknya.
"Pi." Sharga hampir kehilangan kata-katanya. Ya, ia berusaha keras menahan amarahnya di antara gejolak rasa sakit yang semakin menjadi. "Lusa aku turnamen, Pi. Gak bisa, dong, kalo aku gak ikut?"
Bramantius menghembuskan napas. Ia tahu soal itu. "Tim kamu itu pasti punya banyak pemain cadangan. Gak perlu risau, lah."
"Gak bisa, lah, Pi." Ya, bukan Sharga namanya kalau tidak keras kepala. "Papi gak bisa seenaknya gini. Ini turnamen terakhir aku di SMA, Pi!"
"SAYA GAK PEDULI ITU TURNAMEN KEBERAPA, HADYSSHARGA."
Sharga bungkam sesaat setelah sang ayah membentaknya. Wajah Bramantius nampak memerah berkat amarah.
"Saya peduli sama kamu." Bramantius menekan tiap kata yang muncur dari alat wicaranya. Dwinetranya tajam menatap si sulung, sama kerasnya melawan pemikiran sang putra.
Sharga mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, ia lelah. Ia lelah terus-menerus berdebat dengan sang ayah yang selalu memutuskan segala sesuatu sendirian, tanpa persetujuannya, padahal sesuatu tersebut bertalian dengannya. Ia lelah menghadapi kerasnya Bramantius, tanpa sadar bahwa dirinya pun memiliki pemikiran sekeras batu sungai.
"KALO PAPI PEDULI, SEENGGAKNYA TANYA AKU DULU, PI, AKU SETUJU APA NGGAK." Ya, bukan Sharga pula namanya kalau tidak ikut emosi. "Okelah upacara, olahraga, band, basket, bakal off nantinya, tapi nggak dengan turnamen. Apa pun yang terjadi, aku bakal tetep ikut tanding."
Bramantius mendekat, wajahnya kaku menahan amarah yang sebenarnya sudah meledak. Telunjuknya menunjuk-nunjuk dada pemuda di hadapan. "Jangan kamu pancing saya, ya, Hadyssharga. Kalau saya bilang 'nggak' ya 'nggak'. Paham? Berani kamu bantah saya, kamu tau akibatnya."
Sharga menyeringai, membalas tatapan itu tanpa gentar. "Gak peduli. Terserah. Penyakit sialan ini gak bakal bikin aku berhenti."
"Kamu kira saya mau ambil keputusan begini?!" Intonasi suara Bramantius kembali meninggi. "Ini semua untuk kamu. Ngerti, lah, Nak. Susah kali saya bikin kamu supaya mau mengerti."
Sharga tetap menggeleng, benar-benar tak merasa terintimidasi. Ia akan tetap pada pendiriannya, dan merupakan rahasia umum bahwa akan sangat sulit untuk mengubah pendiriannya tersebut. Semua orang tahu, berdebat dengannya soal pendirian tak akan ada habisnya. Sia-sia. Ia tak akan pernah mau mengalah jika itu berkaitan dengan keyakinan dan keinginannya.
"Nggak, Pi. Come on, biarin aku nikmatin hidup, lah? Papi tau hidup aku juga gak bakal lama lagi, kan? Gak boleh aku ngerasa seneng?"
"HADYSSHARGA!"
"APA?!" Sharga balas membentak, menantang sang ayah yang hampir melayangkan pukulan di wajahnya, namun terhenti entah apa musababnya. "KENAPA? MAU PUKUL? PUKUL!"
Bramantius menggeram, menahan sebelah kuasa yang terbuka di udara-hampir menampar sang anak. Ia menurunkan tangannya dengan paksa. Tentu ia masih punya hati nurani, tak mungkin ia mengikuti keinginannya untuk memukul si sulung yang sedang dalam kondisi tidak sehat.
Sharga mengatur napasnya yang tiba-tiba menderu. Ah, emosi membuat kepalanya semakin sakit. Pemuda itu menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari, mencengkeramnya erat-erat, berharap itu akan mengurangi rasa sakitnya. Sebelum ia benar-benar oleng, pemuda itu memutar tubuhnya, masuk ke kamar dan membanting pintunya dengan keras.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)
Ficción GeneralKisah Sharga di akun ini telah dihentikan, namun akan tetap dilanjutkan di akun lainnya. Untuk info lebih jelasnya, silakan baca bagian terakhir kisah ini. Terima kasih!