Jiya menyeret Kafka sampai di lorong yang sepi, tangannya yang menggenggam tangan Kafka tak kunjung ia lepaskan, mulutnya mendumal sepanjang jalan dengan kaki yang perempuan itu hentakan dengan kesal.
Kafka yang melihat itu tersenyum kecil, lalu tangannya menarik Jiya untuk berhenti. Jiya yang jalan dengan cukup cepat itu tak siap tubuhnya ia hentikan secara tiba-tiba, tubuhnya berbalik seiring tarikan Kafka.
Bruk!
Tubuh mereka bertubrukan, menempel, hanya wajah mereka yang syukurnya mempunyai refleks yang cepat untuk menjauh, tapi tetap saja jarak wajah mereka bahkan hanya 5 centi saat ini.
Bak tak terkejut sedikitpun, Kafka hanya menatap lurus ke iris Jiya dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. Sedangkan Jiya, membelalakan matanya karena masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
"L-LO!" Baru Jiya ingin menjauhkan tubuhnya, tangan Kafka menahan pinggangnya untuk tetap berada diposisi seperti itu.
Mata pria itu berpindah ke arah dahi Jiya, memar di dahi Jiya memang sudah samar, bahkan hampir tak terlihat, tapi tetap saja itu tak mengurangi rasa khawatir Kafka.
"Masih memar." Jemari pria itu terulur mengusap dahi puan dihadapannya.
Jiya yang sedaritadi hanya terdiam, kini tersadar. Tangannya dengan cepat menepis tangan Kafka, lalu menjauhkan tubuhnya.
"L-lo gila ya?! Ini disekolah!"
Seolah acuh, Kafka melihat sekitar dengan santai, "Sepi." Ucap pria itu dengan pundaknya ia naikkan, bak tidak peduli.
"Tadi di kelas gue juga lo—"
"Ya lagian, lo gua kasih kompres nerimanya lama banget."
"Ya tapi gak gitu juga. Kan lo bisa taro aja di meja gue! Lagian kan udah gue bilang, lo gausah turutin kata Kaina!" Kafka tak merespon, pria itu hanya menatapnya.
Melihat Kafka yang memandang lurus tepat ke arah matanya, dengan cepat Jiya mengalihkan pandangannya. "M-mulai besok gausah kasih gue kompres lagi."
"Gamau." Iris tajam Jiya kembali menatap Kafka dengan sengit. "Lo kenapa sih? Susah banget—"
Kringg!
Bel istirahat berbunyi, omongan Jiya terpotong, perempuan itu juga sadar harus cepat-cepat pergi sebelum para murid keluar dari kelas.
Jiya kemudian berdecak sebal sambil menatap sebal ke arah Kafka. Lalu, ia berbalik ke arah kelasnya.
"Gua gak akan berenti sebelum lo sembuh!" Baru Jiya melangkah kakinya tak jauh dari Kafka, pria itu justru berseru dengan acuh, padahal para murid sudah mulai memenuhi koridor.
"S-sial." Jiya buru-buru menutupi wajahnya dan berlari secepat mungkin.
-
Cuaca yang cukup terik tak menjadikan para murid enggan untuk berolahraga di lapangan, buktinya sekarang lapangan penuh dengan orang-orang yang melakukan banyak kegiatan, tapi pemain basket terlihat menguasai sebagian lapangan. Banyak murid yang menonton mereka, tak terkecuali dengan Kaina, sahabatnya itu suka sekali jika berkaitan dengan basket.
Sedangkan, Jiya saat ini sedang merasa bersyukur karena ia menjadi anggota PMR, sebab sekarang ruang uks kini bak di dunia lain, alias udaranya berbanding terbalik dengan diluar sana yang panas terik, disini ia puas mendinginkan diri dengan ac.
Dirinya sibuk membereskan beberapa obat yang berserakan sebelum—
Brak!
Pintu uks itu di buka dengan kencang, "Ada yang cedera woi, misi!" Rayyan terlihat membopong seseorang sambil, diikuti temannya yang berteriak agar beberapa murid yang mengikutinya minggir dari jalan yang mereka halangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT AS
FanfictionIn this universe, you are the main character! Feel free to leave a comment for request. Pict cr. to Pinterest ©illusionic 2023