Kutatap pria paruh baya yang menyandang sebagai atasanku dengan tatapan protes, "Tapi pak, saya sedang ada projek, saya ragu untuk bisa ambil projek ini juga—"
"Saya gak nerima penolakan. Kamu juga tau sendiri, 'kan? Disini yang paling bagus perfomanya itu, kamu."
Ah, sial.
Aku menundukan kepalaku saat tahu bahwa tak ada alasan lagi untuk aku menolak mengambil projek tentang magazine promosi produk perusahaanku yang akan launching.
"Baik, pak."
—
Aku memijat pangkal hidungku saat lagi-lagi kutemukan Jemian— yang menjadi model untuk magazine perusahaanku— kembali membuat masalah.
"Ghia, biar saya aja." Aku menyuruh Ghia berhenti membujuk model yang sekarang merajuk bak toddler.
Setelah Ghia menyingkir, hal yang kutemukan adalah pria itu, wajah paling menjengkelkan yang pernah aku lihat.
Hahhh menjengkelkan sekali.
Bukannya merasa bersalah— pria itu hanya menatapku bak tak ada dosa. Pria itu berdiri saat melihatku. Ambil langkah maju mendekat padaku, "Apa?" Ucapnya dengan wajah super duper datar yang membuat emosiku langsung terpacu.
Aku pejamkan mataku menahan emosi yang rasanya ingin menarik kewarasanku, kutatap kembali matanya, "Kita mulai shoot 10 menit lagi. Sekarang masalah kamu apa? Gamau make up? Magh kamu kambuh? Gasuka tema photoshoot? Atau ada alasan lain lagi?" Aku berusaha untuk sindir keras dia dengan alasan-alasan yang selama ini ia sebutkan setiap pemotretan akan dimulai dengan nada yang lembut.
Entah apa isi di kepala atasanku yang malah membela pria ini dan terus saja memundurkan jadwal pemotretan dengan terima alasan ia dengan lapang dada, seolah pria ini adalah model satu-satunya yang ada di dunia.
Pria itu mengerinyitkan alisnya dan mengusap rambut belakangnya, "Males."
Baru saja tanganku ingin menarik kerahnya, Kean— seniorku— tiba-tiba tarik pundakku pelan untuk mundur, membuatku usungkan niatku dan menatapnya yang sekarang berhadapan dengan Jemian.
Pria itu lempar senyuman paling ramah pada model itu, "Sorry, ya. Kayaknya kita undur shoot 30 menit lagi. Tolong dipersiapkan segalanya yang dibutuhkan." Kean berucap masih sambil tersenyum, tak pedulikan tatapan jengkel Jemian.
Sedangkan, Jemian, kembali datarkan ekspresinya, matanya melirik ke arahku sebelum ia pergi.
Setelahnya, Kean berbalik ke arahku, "Gapapa?"
Aku menghembuskan napas saat Jemian pergi, mengusap rambutku kebelakang frustasi, "Maaf."
"It's okay. Bisa dimengerti, Zi." Aku tatap pria yang menyandang menjadi seniorku itu.
Pria itu benar-benar bisa diandalakan. Bisa kukatakan ia pekerja yang professional, entah memang akibat ia berpengalaman lebih lama dariku, atau memang pria itu yang pandai mengkontrol diri.
Kuakui, ia pria yang sangat ideal.
Umurnya lebih tua dariku, wajahnya cukup tampan, pengalaman bekerja— sudah tak perlu dipertanyakan lagi, sifatnya pun dewasa.
Jika dibandingkan dengan Jemian, yang lebih muda, tak professional, banyak merajuk dan tak tau tata krama— jelas Kean lebih unggul pada tipe pria idealku.
Ah, sial. Apa-apaan aku malah membandingkan mereka berdua. Pasti ini pengaruh berbulan-bulan kepalaku hanya diisi dengan Jemian yang banyak menganggu ketenangan pekerjaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT AS
FanfictionIn this universe, you are the main character! Feel free to leave a comment for request. Pict cr. to Pinterest ©illusionic 2023