"Khael," Laki-laki disampingku hanya berdeham menanggapi, tapi aku tak menjawabnya lagi. Aku ingin ia tolehkan kepalanya sehingga aku dapat melihat wajahnya.
Dan benar, ia menolehkan wajahnya kepadaku saat tak lagi mendapati suaraku tanggapi tanyaannya. Ia miringkan kepalanya sedikit. Aku ikut memiringkan kepalaku sembari menopang daguku. Netranya tak hentinya menatapku dengan bingung dan— entahlah, aku selalu tak bisa artikan tatapannya terhadapku.
Aku memutuskan kontak, netraku menatap dua gelas yang berisi dua coklat yang sudah tak lagi hangat sebab aku dan Khael menganggurkannya beberapa saat sebab aku dengannya sibuk mendengarkan lagu dan sesekali mengobrol.
Otak dan hati ku seolah tengah beradu sehingga lisanku lagi-lagi kukatupkan, berusaha hapus keraguan dan acuhkan perdebatan otak dan hati ku.
Netraku kembali menatapnya, ia masih menatapku. "Khael," Lagi-lagi lidahku bagaikan beku tak mengerti cara berbicara. Kulihat ia tetap setia menatapku, seolah mengerti bahwa aku sedang bergulat dengan diri sendiri.
"Khael, what are we?" Alunan musik terdengar perlahan-lahan tenggelam bagiku, hujan deras pun penuhi pendengaranku seolah gemuruh hujan benar-benar berpihak kepadaku.
Laki-laki itu hanya diam. Tak terkejut, tak heran, tak bicara. Lisannya bagaikan tak akan ia biarkan untuk berbicara, seolah satu kata yang ia ucapkan hanya akan terjang habis dan menasibkan buruk hidupnya.
Perspektif yang buruk? Tentu saja. Orang gila mana yang akan berpikir positif sesaat setelah ajukan pertanyaan kepada seseorang yang ditanya bahkan sekarang seperti ia rantai lisannya.
Beberapa menit hanya menatapku dan terdiam, tiba-tiba ia putuskan kontaknya denganku.
Ia senderkan tubuhnya pada sofa. Napasnya begitu tenang bagaikan pertanyaan yang seperti pisau untukku hanya seperti kapas untuknya. Seolah hanya lewat.
Netranya menatap jendela, aku pun ikut melirik. Deras. Deras sekali. Dalam hati, kutunggu ia mengucapkan kalimat yang biasa ia ucapkan jika aku berada dirumahnya, dan hujan mulai turun sebelum aku kembali ke rumahku.
"It's raining outside. You can't go home." Tolong. Tolong katakan kalimat itu sekarang. Sungguh, apapun, katakanlah!
Tak kusangka, telapak tangannya meraih tanganku. Ia usap perlahan kulitku, sangat pelan, bagai aku akan rusak jika ia sentuh lebih keras dari ini.
Matanya ia temui lagi padaku. Netra coklat yang biasanya mengkilap, kini redup karena cahaya yang minim, ditambah cuaca hari ini yang terus menerus turunkan hujan dan gemuruh.
Perlahan, ia genggam tanganku, kaitkan buku-buku jarinya padaku.
Kedua sudut bibir laki-laki itu terangkat, sapa pandanganku padanya. Entah sihir apa yang ada di dalamnya,
Aku...
Jatuh lagi padanya.
—
Khael.
Aku mengenalnya beberapa bulan sesaat aku akan lulus dari kuliahku.
Awalnya, aku hanya mendengar namanya dari desas desus orang-orang saja. Tak pernah aku bertemu dengannya walaupun satu kampus dengannya.
Yah, walaupun jurusan aku dengannya berbeda, aku menekuni seni, sedangkan ia, arsitektur.
Kudengar ia cukup pintar, tampan, dan... sibuk. Entahlah, tapi kata orang-orang dia orang yang sibuk, katanya, saking seringnya ia di kampus, jika bisa, kampus sudah menjadi rumahnya.
Fakta lucunya, ia sendiri yang mengucapkan kalimat itu.
Saat mendengar itu, tentu saja aku terkikik pelan (karena aku menguping pembicaraan orang lain), lagian, secara logika, orang waras mana yang ingin kampus menjadi rumahnya? Yang ada malah orang-orang ingin cepat-cepat jauhkan otak maupun raga dari tempat mematikan ini kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT AS
FanfictionIn this universe, you are the main character! Feel free to leave a comment for request. Pict cr. to Pinterest ©illusionic 2023