Pria itu terus berbolak-balik sana-sini dengan barang bawaannya, sedangkan aku, hanya berleyehan diatas kasur dan terus tatap sinis setiap pergerakan yang pria itu lakukan.
Masa bodoh mau dibilang istri pemalas, saat ini aku sebal sekali, mengetahui pria itu— yang sudah menyandang jadi suamiku 2 tahun lalu— ingin pergi jauh selama 7 hari untuk pekerjaannya.
Aku mencebikkan bibirku saat akhirnya Bian melirik ke arahku.
Ia terkikik geli melihat aku yang menggulungkan seluruh tubuhku dengan selimut, ditambah, bibirku yang melengkung kebawah.
Pria itu perlahan menghampiriku, berdiri dipinggir kasur, sambil mengusap rambutku, "Sebentar doang, sayang."
Alisku menukik tak terima, "Sebentar apanya?! Se. mi. ng. gu." Tekanku.
Lagi-lagi dia tertawa. Merasa terejek tentu aku protes, "Kamu kenapa sih ketawa terus?!"
"Aku serius!"
Kedua telapak tangan pria itu terulur meraih pipiku, mencubit pelan, lalu ia tempelkan puncuk hidungnya dengan hindungku, "Iyaaaa. Tapi 'kan aku pergi juga buat kerja, sayang."
"Ya tinggal batalin."
Pria itu mendengus geli, "Nggak bisa, Theo udah daftarin aku, aku juga gatau kalo di daftarin dia."
Ah, sial.
Theo sialan! Aku akan adui Diera agar pria itu tak lagi kurang ajar.
"Lagian, temen kamu apaan sih! Terus kamu iya iya aja gitu? Gak nolak?"
"Aku mau nolak juga sayang, Rhe. Lumayan, pengalaman."
Aku hanya menatap pria itu yang dari tadi tak berhenti mengelus rambutku.
Ah, entahlah! Aku sedih sekali.
Alasan yang dia buat pun terasa menyakitkan sekali untukku.
Aku memutar bola mata malas, lalu memutar tubuhku kearah berlawanan, "Yaudah, sana." Bian yang mengelus rambutku, refleks berhenti.
Beberapa saat aku dan pria itu saling diam.
"Serius?"
Gila ya?! Pertanyaan yang menyebalkan sekali. Rasanya suara yang dia buat pun sekarang membuatku jengkel.
"Ck! Nanya mulu sih?! Aku bilang, yaudah, sana!"
Lagi-lagi Bian hanya diam.
"Sayang."
"Ini udah jam berapa, Bian? Nanti kamu telat, udah, sana." Ucapku dengan nada yang masih jengkel.
"Sayang, sini dulu." Jawabnya sambil tangannya berusaha raih tubuhku agar menatap kearahnya.
"Nggak usah. Udah, sana."
"Rhea. Aku serius, sebentar aja."
Dengan decakan malas, aku akhirnya membalikkan tubuh menghadapinya.
Pria itu tatap netraku, lisannya tergerak ingin berbicara, tapi bisa kurasakan ada ragu didalamnya.
Aku mengerinyit kearahnya, "Apa?"
"Sayang..."
Mendengar nadanya yang serius, aku jadi gugup, "A-apa, sih?"
"Kamu terakhir period, tanggal berapa?"
Aku terdiam sedetik sambil menatap kedua matanya, gugup perlahan rayapi diriku, "H-hah? Kenapa?"
Pria itu hanya menggeleng, "Kamu... aneh."
"Aneh gimana, sih?"
"Biasanya kalo aku pergi soal kerjaan, kamu gak sampe cranky gini."
Merasa terintimidasi, gugup tambah gerayangi tubuhku, "A-aku... aku cuma sedih."
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT AS
FanfictionIn this universe, you are the main character! Feel free to leave a comment for request. Pict cr. to Pinterest ©illusionic 2023