Chapter 8

9 4 0
                                    

Goresan demi goresan menjadi sebuah lukisan, Davin menatap muka Liya yang terlihat serius sesekali terkekeh menatap kerutan yang muncul di wajah sahabat nya itu. Ia mengambil beberapa potret melalui kamera miliknya.

"Li, lihat sini deh. Senyum." Davin mengangkat kameranya ke arah Liya, gadis tersebut menoleh dan tersenyum dengan alat lukis yang masih di tangan kanan dan kirinya.

Davin kembali duduk setelah selesai dengan kegiatan memotret nya, ia memandang pedesaan di depan matanya, membiarkan Liya dengan dunia fantasinya dalam lukisan.

"Li." Panggil Davin, Liya berdeham singkat, lalu matanya menatap kembali lukisan di hadapannya.

"Gue pengen liat lo main piano lagi." Ujarnya tiba-tiba, Liya menatap Davin lalu menyengit bingung.

"Kenapa tiba-tiba gini? Ada sesuatu kah?" Tanya Liya, ia kembali memfokuskan pandangannya pada lukisan.

"Gak ada, gue suka sama permainan piano lo, lo terlihat lebih indah kalau lagi main piano."

"Apaan sih, gombal. Gak cocok tau sama kamu yang suka blak-blakan!" Protes Liya di akhiri kekehannya. Davin ikut tertawa, ia merebahkan tubuhnya di atas rerumputan lalu menatap langit yang terlihat biru.

"Liya, liat deh. Langitnya indah, lo gak mau tiduran juga?" Tawar Davin, Liya menggeleng kecil, ia bahkan belum menyelesaikan lukisannya setelah beberapa menit berlalu.

"Gak mau, lukisan aku belum selesai." Tolaknya halus.

"Kenapa lo suka ngelukis?" Tanya Davin tiba-tiba

Liya mengedikan bahunya, "aku merasa aku bisa melampiaskan emosiku melalui lukisan, sama seperti waktu aku bermain piano, aku curahkan semuanya sama sebuah musik." Jawab Liya singkat.

"Waktu pertama kali gue ngeliat lo main piano, gue bener-bener tercengang banget, permainan lo indah, jari-jari lo seakan udah terlatih buat ngerangkai sebuah melodi. Iramanya seakan menggambarkan kesedihan, bahkan saat gue ndenger itu, gue ngerasa bisa merasakan emosi yang lo curahkan melalui musik." Terang Davin, sambil menerawang langit biru di atasnya.

"Nah, udah selesai!" Ujar Liya tanpa memperdulikan perkataan Davin sebelumnya, ia tersenyum puas melihat hasil karyanya, sudah hampir 2 tahun terakhir ia tidak melukis, tetapi tangannya masih terlatih soal menggambar.

Davin  bangkit dari tidurnya, melihat lukisan Liya dengan binar kagum dimatanya, "cantik banget, gila. Ini kaya real, bukan lukisan."

"Bisa aja kamu, terimakasih."

"Lo punya bakat banyak, kenapa ga di curahkan?" Tanya Davin kembali duduk di rerumputan.

Liya mengedikan bahunya acuh, "aku pengennya gitu, tapi mana punya aku uang buat daftar perlombaan. Waktu itu aku liat ada perlombaan melukis gratis, tapi gak bisa ikut karena berpapasan sama jam kerja aku."

"Ah iya, jadi sekarang kerja lo gimana? Lo udah keluar kah?"

"Oh itu, aku belum ke cafe lagi sih, km kan tau sendiri kita juga sibuk sekolah di tambah sama kaki aku yang gak bisa berjalan dengan bebas sekarang, jadi aku bingung mau ke cafe kayak gimana." Jelas Liya dan di jawab decakan dari Davin.

"Kenapa lo gak minta tolong gue sih?" Kesal Davin.

Liya meletakan kuas lukisnya, "aku takut ngerepotin kamu." Jawabnya kemudian.

"Sampai kapan lo bakal berfikir seperti itu Li? Lo anggep gue apa sih? Kata lo kita sahabat, kita temen, tapi kenapa lo masih ngerasa sungkan sama gue?" Liya menoleh, menatap Davin dengan tatapan yang sulit di artikan.

Mata Davin menatap Liya dengan penuh kecewa, marah, sedih, entahlah, semuanya seakan bercampur menjadi satu. Liya menjadi dibuat merasa bersalah karenanya.

I PROMISE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang