42-Bad Day

2.5K 334 63
                                    

Zay tadinya hanya akan mengajak Hegar dan Keenan, itupun jika mau. Namun, sekarang malah semua orang sibuk bersiap-siap dengan wajah sumringah. Semuanya akan ikut dalam rencana liburan yang Zay buat. Zay tidak keberatan, ia justru senang karena semakin ramai.

Setelah semua siap, mereka langsung menuju rumah keluarga Satya. Sepanjang perjalanan, Zay merasa sedikit gugup. Ia tidak memberitahu siapa pun perihal kedatangannya. Ia harap, hadirnya dapat memberi kehangatan bagi mereka di Minggu yang cerah ini. Terlebih untuk Ghava.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai. Zay lebih dulu keluar, berlari menuju pintu utama dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Ia lantas menekan bel hingga tak lama kemudian, pintu terbuka.

"Loh, Mas Zayyan?!"

Zay langsung memberi isyarat dengan menempelkan telunjuk di mulut, pada seorang ART yang baru saja membukakan pintu untuknya. "Jangan keras-keras, Mbak. Semuanya ada di rumah, 'kan?"

Jihan mengangguk. "Ibu sama Bapak ada, Den Ghava juga ada. Tadi baru pulang dari rumah sakit, habis dirawat agak lama."

Mendengar itu, senyum di wajah Zay seketika luntur. Ia bahkan tidak tahu jika Ghava dirawat di rumah sakit. Ayahnya hanya mengatakan jika Ghava sakit biasa dan sudah sembuh. Maka dari itu, Zay berani membuat rencana liburan bersama hari ini. Jikalau tahu, tentu Zay tidak akan melakukannya. Ghava pasti masih butuh istirahat.

"Kenapa belum masuk?" tanya Gatra yang baru datang bersama istri dan ketiga anaknya.

Zay berbalik, menatap wajah-wajah cerah itu dengan tatapan menyesal. "Eum ... kayaknya kita nggak jadi liburan deh. Ghava ternyata baru pulang, habis dirawat di RS, Om."

"Aish, emang sesat sih ngikutin elo, Kak." Keenan langsung protes. Padahal ia sudah merelakan waktu rebahannya di weekend ini. "Ya udah kita berangkat liburan ber-enam aja ayok, nggak usah diajak dianya."

"Kak ...." Luvita langsung menegur Keenan.

"Ck, gue pulang aja deh kalo gitu." Keenan sudah hendak berbalik, tetapi Hegar yang berdiri di belakang anak itu langsung menahan dengan memeluknya. Mengunci pergerakan Keenan dari belakang agar adiknya itu tidak kabur.

"Udah, lo diem. Jangan makin ngerusak suasana. Itung-itung family time. Kalo lo nurut, ntar gue beliin lego," bisik Hegar di samping telinga Keenan. Kalau begini, ia tampak memenuhi perannya sebagai seorang kakak.

"Siapa yang dateng?"

Perhatian semua orang kembali pada pintu. Tari datang dari dalam, terkejut melihat kedatangan orang-orang yang tak pernah ia sangka. Melihat figur putranya di ambang pintu, Tari segera mendekat.

"Z-zay ...." Tari mulai tampak berkaca-kaca. Ia lantas memeluk Zay dengan cukup erat. Ia seolah menemukan jawaban dari segala keresahan hatinya beberapa hari ini. Ghava pasti senang karena Zay datang ke rumah.

"Kamu bisa, Tari. He's your son. Kamu harus bisa sayang sama dia, harus." Tari berucap dalam batinnya, meneguhkan hati untuk menyayangi Zay sebagaimana mestinya.

Belum sempat Zay membalas pelukan ibunya, wanita itu lebih dulu melepaskan. Ia dapat melihat Tari yang mengusap air mata di pipinya. Ibunya tampak sedih meski setelahnya, wanita itu kembali mengukir senyum.

"Silakan masuk, maaf saya nggak sambut kedatangan kalian dengan persiapan. Ayo masuk. Jihan, tolong kamu bikinin minum."

Tari kemudian menggandeng tangan Zay dan mengajaknya masuk. Di susul oleh yang lain. "Sebentar ya, Ibu panggil Ghava dulu."

"Jangan, Bu. Zay aja yang panggil Ghava, biar surprise." Zay tersenyum. Meski perlakuan Tari terasa begitu asing, Zay tetap bersyukur. Setidaknya, wanita itu tidak menyambutnya dengan kebencian seperti dulu.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang