32-Seberapa Pantas Untuk Disayang

2K 306 124
                                    

Ghava merampas buku di pangkuan Zay dan menjauhkannya dari lelaki itu. Ia lama-lama kesal karena Zay terlalu lama mendiamkan sepiring nasi di atas meja yang belum tersentuh sama sekali. “Makan dulu,” ucapnya sebelum melanjutkan kegiatan makan bersama lima orang lain di sekelilingnya.

Hari ini adalah hari di mana OSN tingkat Provinsi diadakan. Zay bersama lima orang lain yang mewakili Jakarta Selatan di OSN bidang Matematika, telah berada di sebuah SMA di Jakarta Timur yang menjadi tuan rumah pelaksanaan lomba. Kini mereka tengah melakukan sarapan pagi sebelum dimulainya lomba yang dilaksanakan kurang dari dua jam mendatang.

“Kalau saya minum obat sekarang, ntar pas ngerjain ngantuk nggak ya, Va? Atau minumnya ntar aja kalau udah selesai?” bisik Zay pada Ghava yang duduk di sebelahnya. Ia memang ragu-ragu untuk mengonsumsi obatnya karena takut jika efek kantuk dari obat menjadikan pekerjaannya tidak optimal. Namun, ia langsung meringis ketika mendapati delikan tajam dari saudaranya.

“Maksudnya lo mau skip minum obat sampai siang nanti? Mending gue telfon Ayah suruh dateng sekarang dan nyeret lo pulang.” Ghava berucap tanpa keraguan sedikit pun. Akhir-akhir ini, Zay memang selalu membuatnya kesal karena keras kepalanya. Beberapa hari terakhir, Zay selalu memforsir dirinya untuk mengejar ketertinggalan terkait materi lomba. Ia hanya takut jika tekanan itu akan memengaruhi kondisi tubuh Zay cepat atau lambat. Saudaranya itu seolah tak sadar jika sekarang tubuhnya tidak bisa diajak untuk terlalu lelah.

“Maaf.”

Ghava menghela napas lelah, menoleh pada Zay yang sudah mulai menikmati makan paginya. “Lo nggak harus maksa diri lo buat lolos ke tahap selanjutnya. Lakuin semampu lo aja, tinggalin kalo udah nggak kuat. Kesehatan lo yang utama, menang kalah urusan nanti. Ngerti nggak?”

“Dimengerti, Bos,” jawab Zay seraya mengangkat ibu jarinya di depan wajah Ghava.

***

Zay telah berada di ruangan lomba beserta perwakilan lain dari tiap kota di DKI Jakarta. Kertas soal dan lembar jawab telah dipegang oleh masing-masing peserta. Mereka akan mengerjakan soal selama 210 menit, dengan jumlah 20 soal isian singkat dan 5 soal uraian. Waktu yang terlihat panjang, tetapi akan terasa cepat ketika dihabiskan untuk memikirkan penyelesaian dari soal-soal itu.

Zay berada di bangku paling depan, berhadapan dengan meja pengawas. Satu jam pertama bisa ia gunakan untuk menjawab 10 soal isian singkat, tidak cukup buruk meski targetnya lebih dari itu. Zay mulai pusing saat waktu makin menipis, dan ia mulai menemukan soal dengan tingkat kesulitan tinggi, terlebih pada soal uraian. Ia sesekali menyalahkan diri sebab tidak belajar dengan maksimal.

“Ah, bukan gini.” Zay mencoret-coret kertas ketika menyadari jika langkah yang ia gunakan tidak tepat. Sejenak ia diam, berusaha mencari-cari dalam memorinya tentang rumus-rumus matematika yang harus ia gunakan. Lelaki itu kembali mencoba dan berharap jika kali ini ia tidak salah.

Sayangnya, Zay harus kembali merelakan sisa waktu yang ia punya sebab setitik darah menetes dari lubang hidungnya, disusul tetes-tetes lain dengan aliran yang cepat. Zay sontak menutup hidungnya dengan tangan, memanggil pengawas dan meminta tisu untuk mengelap darah yang telah merembas lewat sela-sela jari.

Ghava yang duduk di belakang Zay seketika khawatir. Hegar yang juga berada dalam ruangan itu pun tak kalah cemas. Bahkan beberapa peserta lain juga tampak menghentikan pekerjaan mereka, hanya untuk menatap Zay dengan pandangan iba.

“Mau keluar dulu nggak, Dek? Biar dibersihin dulu darahnya,” ucap seorang relawan medis yang baru dipanggil oleh pengawas lomba. “Ada keluhan pusing nggak?”

Zay menggeleng, tidak ingin jujur. “Boleh saya selesein dulu nggak? Waktunya tinggal dua puluh menitan lagi, ‘kan, Pak?” tanya Zay pada pengawas yang kini berdiri di depannya.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang