05-Bagaimana Takdir Berkata

2.8K 343 19
                                    

Zay menyeret langkahnya memasuki rumah ketika jam menunjukan pukul setengah enam sore. Ia hendak langsung bersih-bersih, tetapi suara dingin yang menelusup ke telinga membuatnya membeku seketika.

"Dari mana jam segini baru pulang? Nggak inget sama tugas kamu? Udah mulai berani ngelawan?"

Zay menoleh ke samping dan mendapati figur omnya berjalan mendekat. Jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Firasatnya tak melenceng ketika tiba-tiba saja sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Zay yang memang masih lemas pun seketika tersungkur di lantai. Ringisan pelan terudara dari bibir lelaki itu.

"Kesenengan main kamu, ha?" Komar menjambak rambut Zay hingga membuat lelaki itu mendongakkan wajah. "Malem ini nggak usah makan kamu! Kalau besok pulang jam segini lagi dan nggak bantu istri saya jaga toko, jangan harap saya bakal diem aja!"

Zay meringis ketika kepalanya dihempas keras. Pening yang sedari tadi menganggunya kini makin terasa menyakitkan. Zay terlonjak kaget ketika Komar menutup pintu utama dengan keras. Ia mengusap dada, setidaknya bersyukur karena omnya itu hanya memberikan satu kali tamparan. Jika lebih, Zay tak bisa membayangkan untuk menghabiskan malam dengan rasa sakit di berbagai sisi.

Susah payah, Zay membangunkan tubuh. Ia berjalan dengan langkah terseok sembari memegangi pipinya yang terasa nyeri. Jejak merah bahkan masih tertinggal di sana.

Zay memasuki kamarnya yang berada di lantai bawah, melempar tasnya dengan asal sebelum membanting tubuh pada kasur. Dengan posisi tengkurap, lelaki itu mulai memejamkan mata.

Niatnya ingin tidur barang sejenak. Akan tetapi, mengingat azan magrib sebentar lagi berkumandang dan tubuhnya sudah sangat lengket, Zay hanya beristirahat selama 10 menit. Ia berencana untuk tidur lebih awal saja nanti, toh ia tak ingin kelaparan karena malam ini tak mendapat jatah makan. Setidaknya dengan tidur, rasa laparnya akan tersamarkan.

***

Embusan angin malam tak mengusik Ghava yang tengah duduk santai di pinggir kolam renang. Lelaki itu bahkan mencelupkan sebagian kakinya ke dalam air, seolah dinginnya dapat menjalar hingga ke otak dan membuatnya rileks.

Pandangan Ghava menerawang pada bintang di langit malam. Di antara kerlap-kerlip itu, Ghava selalu mencari yang paling terang. Sebab, ia seperti menemukan saudaranya yang sudah menjadi bintang di atas sana. Setelahnya, Ghava hanya akan bergumam seorang diri seolah sedang bercerita pada saudaranya.

"How's heaven, Zy?" Ghava tersenyum kecil, lantas mengalihkan pandang pada tenangnya air kolam renang yang berkilau diterpa remang cahaya. "Di sini nggak ada yang menarik sejak kamu pergi. Tapi tenang aja, aku masih berusaha jalanin hidupku dengan semestinya."

Ghava sedikit menunduk, pikirannya mulai meliar. Tiba-tiba, ia teringat dengan kejadian di sekolah sebelum memutuskan untuk pulang. "Di sekolahku, ada orang yang mirip banget sama kamu, Zy. Tadi sore aku main futsal sama dia. Entah kenapa, aku ngerasa seneng. Rasanya kayak lagi main sama kamu."

"Tapi ... aku nggak pengin kenal dia lebih jauh. Aku takut ngelewatin batas dan anggap dia sebagai kamu, padahal dia cuma orang asing."

Ghava benar-benar menakutkan hal itu. Setiap kali melihat Zay, ia selalu ingin memberikan empati begitu besar meski pikirannya menolak keras. Seperti saat ia menemukan Zay tengah kesakitan di toilet, entah dorongan dari mana Ghava berbaik hati memesankan ojek untuk mengantarnya pulang. Padahal seumur hidupnya, Ghava tak pernah sepeduli ini terhadap orang asing.

"Halo, Bro Ghava. Sendirian aja, lagi galau ya?"

Ghava menoleh ke belakang ketika mendengar suara Jev. Ia menghela napas ketika pria itu duduk di sebelahnya. Dari raut wajahnya, Ghava yakin sekali omnya itu sedang kurang kerjaan.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang