11-Hari yang Berantakan

2.4K 293 41
                                    

“Hasil tes darah menunjukkan bahwa kadar leukosit atau sel darah putih sangat tinggi dan kadar trombositnya rendah. Trombosit ini punya peran untuk menghentikan pendarahan pada luka atau kerusakan pembuluh darah. Tapi karena kadarnya yang rendah, makanya Nak Zayyan ini sering mengalami pendarahan misal di gusi, mimisan, dan muncul luka memar di beberapa bagian tubuh. Kadar hemoglobin dalam darah juga kurang bagus, tergolong anemia derajat sedang.”

Zay tak berani menatap seorang dokter yang sedang menjelaskan kondisinya. Sedari tadi, ia hanya menunduk dengan jantung yang berdebar karena takut. Dari kalimat yang diucapkan, Zay sudah bisa menebak bahwa kondisi tubuhnya cukup mengkhawatirkan. Istilah-istilah terkait darah yang diucapkan dokter pria di hadapannya cukup Zay pahami, sebab ia sering menemukannya di mata pelajaran biologi.

Sementara Gatra yang duduk di sebelah Zay mengulurkan tangan untuk mengenggam tangan anak itu. Melihat ketakutan yang tak beranjak dari raut wajah Zay, Gatra ingin membuatnya sedikit tenang. Setidaknya meyakinkan Zay bahwa ia tak menghadapi situasi ini sendirian.

Gatra terlambat menyadari jika selama ini Zay memendam sakit seorang diri. Ia jelas terkejut ketika beberapa hari lalu tiba-tiba Zay menghubunginya, meminta didampingi ke rumah sakit untuk melakukan tes darah. Sebenarnya ia juga kasihan karena dibanding meminta bantuan pada om dan tantenya yang tidak berguna itu, Zay lebih memilih untuk mencarinya.

“Kondisi yang tadi saya sebutkan merupakan indikasi suatu penyakit serius, yaitu leukimia atau kanker darah. ”

Zay kali ini mengangkat pandangannya. Mendengar kalimat yang baru saja diucapkan sang dokter, Zay merasa sekujur tubuhnya terasa melemas. Zay memang memahami kondisi tubuhnya yang tidak baik, tapi ia sama sekali tidak terpikirkan bahwa itu adalah kanker atau penyakit serius semacamnya.

“K-kanker darah, Dok?” Gatra pun sama terkejutnya. Ia bahkan sampai tak bisa berkata-kata, sibuk mencerna bahwa telinganya tak salah dengar.

“Tapi kita tidak bisa menegakan diagnosis hanya dari hasil tes darah. Untuk memastikannya, kita perlu melakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan biopsi. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa memang ada pertumbuhan sel yang abnormal. Setelah itu, pemeriksaan lain juga perlu dilakukan untuk mengetahui sudah sejauh mana perkembangan sel kanker tersebut, agar kita bisa mengambil langkah pengobatan yang tepat.”

“Kira-kira prosesnya bisa dilakukan kapan, Dok?”

“Lebih cepat lebih baik, Pak. Mengingat kemungkinan pertumbuhan sel kanker yang cepat, baiknya kita segera melakukan pemeriksaan lanjut.”

“Tapi---“ Gatra tak menyelesaikan ucapannya ketika mendengar decitan suara kursi yang bergesekan dengan lantai. Ia membulatkan mata ketika melihat Zay berlari begitu saja meninggalkan ruangan. Sekarang ia bingung apakah harus menyusul Zay atau melanjutkan pembicaraan dengan dokter.

“Silakan bisa disusul dulu anaknya, Pak, pasti dia sangat syok. Ditenangkan dulu, nanti bisa menemui saya lagi.”

“Terima kasih, Dok.” Gatra berpamitan dan segera keluar menyusul Zay. Ia meliarkan pandangan, menyusuri lorong rumah sakit mencari keberadaan Zay.

Gatra sangat cemas ketika tak jua mendapati figur Zay di sepanjang jalan yang ia lewati. Pria itu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Zay, tetapi anak itu sama sekali tak membalas panggilan telepon darinya. Ia yakin Zay belum pergi jauh, tapi Gatra tak kunjung menemukan keberadaannya di antara lalu-lalang manusia.

***

“Udah sampai, Dek.”

Zay terkesiap ketika mendengar suara sopir taksi. Ia bahkan baru menyadari jika mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan gedung sekolah. Sedari tadi, lelaki itu sibuk dengan lamunannya.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang