14-Potret Lama

2.1K 309 21
                                    

Satu minggu pertama berhasil Zay lewati dengan baik. Harinya dilalui dengan serangkaian kegiatan dari guru dan yang paling utama adalah belajar. Soal demi soal mengiringi hari-harinya sampai ia merasa muak. Zay memang menyukai matematika, tapi berhari-hari disuguhkan dengan satu mata pelajaran itu sungguh membuat kepalanya nyaris meledak. Belum lagi jika ada variasi soal dengan tingkat kesulitan tinggi, yang membuat otaknya harus bekerja lebih keras.

Pagi ini, tubuhnya drop. Bangun-bangun, ia merasakan kepalanya begitu pusing. Suhu tubuhnya pun terasa meningkat dari biasanya. Pukul 8 pagi, Zay masih berdiam di ranjangnya saat anak-anak lain sudah berantre mandi setelah mengikuti senam pagi. Harusnya ia juga bersiap karena jam 9 ia harus mengikuti bimbingan dengan dosen. Namun, tubuhnya yang lemas membuat Zay enggan melakukan apa pun.

“Zay.”

Zay yang sedang berbaring dengan posisi miring, perlahan membuka matanya. Namun tak sampai tiga detik, bahkan belum sempat melihat siapa yang kini berdiri di depannya, Zay kembali menutup mata yang terasa perih dan panas. “Udah selesai semua, ya, yang mandi? Nanti ya, sepuluh menit lagi,” gumamnya setengah sadar.

Ghava tak tega melihat Zay tampak kesakitan seperti itu. Ia berjongkok di samping ranjang, mengamati wajah dan leher Zay yang dihiasi oleh keringat dingin. Padahal yang Ghava lihat, Zay tampak menggigil hingga sebagian tubuhnya terbungkus selimut milik Chatra.

“Gue bilang guru ya, kayaknya lo harus ke dokter.”

Mendengar itu, Zay benar-benar membuka mata. Netranya langsung disuguhkan dengan wajah Ghava. “Nggak usah, nanti juga baikan.”

Chatra datang dari luar membawa sekotak bubur ayam yang ia beli di depan asrama. Setelah menutup pintu, lelaki itu beralih menyerahkan kotak bubur kepada Ghava, lantas mengambil tas untuk mencari sesuatu.

“Kak Zay masih pusing?” tanya Chatra yang sedang mengobrak-abrik isi tas, tetapi tatapannya terfokus pada Zay. Tak mendapat jawaban, Chatra pastikan jika Zay masih tak enak badan. Setelah menemukan obat penurun panas di dalam tas, Chatra mendekati ranjang Zay dan duduk di lantai sebelah Ghava.

“Kuat bangun nggak, Kak? Makan dulu, tadi gue beliin bubur. Terus minum paracetamol biar demamnya turun dan nggak terlalu pusing,” ucapnya sembari mengecek suhu tubuh Zay dengan menempelkan punggung tangannya pada kening lelaki itu.

“Makasih ya, malah jadi ngerepotin gini.” Zay menghela napas panjang, kemudian mencoba untuk mendudukkan tubuhnya dibantu oleh Ghava. Kalau seperti ini, ia benar-benar terlihat seperti orang sakit. Ya memang ia sedang sakit, hanya saja Zay merasa ini bukanlah waktu dan tempat yang seharusnya. Ia tak suka jika harus merepotkan teman-temannya seperti ini.

“Makan sendiri apa suapin?” tawar Chatra dengan sukarela. Sedikitpun, ia tak merasa terbebani. Zay adalah kakak kelas favoritnya sejauh ini. Meski belum lama kenal, Chatra sudah belajar banyak hal dari lelaki itu. Zay selalu mengajarinya dengan sabar, bahkan berkenan mendengarkan curhatannya tentang apa pun. Bukan sekadar mendengar, tetapi sering pula memberikan solusi yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.

Zay tersenyum kecil, kemudian menggeleng. “Masih punya tenaga buat makan, kok.”

“Ntar nggak usah ikut latihan, istirahat dulu aja,” ucap Ghava sembari membuka kotak berisi bubur ayam dan menyerahkannya pada Zay.

“Ikut, ntar habis minum obat juga udah sembuh. Tapi mungkin ntar saya nyusul.”

“Nggak usah maksain diri!”

“Kalo nggak dipaksa makin manja.”

Ghava berdecak pelan, tak setuju dengan opini Zay. “Batu banget dibilangin. Kalo makin parah juga lo sendiri yang rugi.”

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang