08-Luka yang Bersemayam

2.9K 360 31
                                    

“Kamu habis buat ulah apa sampai bikin Bapak marah-marah?” Yulis berkacak pinggang, memandang Jio dengan tatapan mengintimidasi. Ia begitu terkejut ketika baru saja pulang dan mendapati kekacauan di lantai dua. Terlebih setelah Jio menjelaskan padanya jika anak itu sempat terlibat cek-cok dengan Komar.

“Jio cuma ngingetin Bapak buat nggak kebanyakan minum-minum. Jio nggak tau kalau Bapak bakal marah banget kayak tadi.”

Yulis mengembuskan napas kasar, tak habis pikir dengan kelakuan putra semata wayangnya itu. Bersikap menggurui seolah tak sadar jika bapaknya punya temperamen sangat buruk. “Udah Ibu bilang berkali-kali, jangan deket-deket sama Bapak kalau dia lagi mabuk! Ini malah berani ngomentarin, wajar aja dia marah sama kamu.”

Jio menunduk semakin dalam, tetapi dalam hati ia tak henti menggerutu. Wajar dari mana? Ia hanya ingin mengingatkan hal baik pada bapaknya, tetapi malah berakhir mendapatkan amarah.

“Jangan diulangi lagi, Ibu nggak mau kamu sampai dipukuli sama Bapak!”

Yulis sudah berniat meninggalkan Jio, tetapi panggilan anak itu kembali menghentikan langkahnya.

“Bu, kita bawa Mas Iyan ke klinik aja, ya? Demamnya nggak turun-turun dari tadi,” ucap Jio dengan sirat permohonan yang terpancar dari kedua bola matanya. Kekhawatiran masih belum beranjak dari hati anak itu. Bayang-bayang wajah pucat Zay dengan darah yang mengalir deras dari lubang hidungnya masih begitu membekas dalam ingatan Jio.

“Nggak usah, bentar lagi juga sembuh.”

“Bu ....”

“Ibu bilang enggak ya enggak! Beliin aja obat di warung, nanti juga baikan. Udah jangan ganggu Ibu, Ibu masih banyak kerjaan!” Usai mengucapkan itu, Yulis benar-benar berlalu dari hadapan Jio.

Sementara Jio melangkah gontai menuju kamar Zay. Dalam setiap langkahnya, anak itu tak henti mendumel. Jio memasuki kamar, netranya sedikit membola ketika melihat kakaknya telah membuka mata. Ia pun bergegas mendekati Zay untuk memastikan kondisinya.

“Mas Iyan udah bangun? Masih pusing nggak?”

Zay melepas handuk kecil yang tertempel di dahinya. Pandangan lelaki itu beralih pada Jio, kemudian menepuk sisi kosong di sampingnya agar Jio bisa duduk di sana. “Udah mendingan, kok. Ibu kamu udah pulang?” tanyanya dengan suara yang masih terdengar lemah. Sejujurnya tubuhnya masih terasa tak karuan, tapi ia tak ingin membuat Jio cemas. Dari wajahnya saja, Zay bisa melihat jika anak itu sangat mengkhawatirkan keadaannya.

“Udah, Ibu udah pulang. Mas Iyan beneran udah nggak apa-apa? Periksa ke dokter, mau? Biar Jio nanti minta tolong Mas Husein buat nganter ke klinik.”

Zay tersenyum tipis, lantas memberikan sebuah gelengan. “Mas nggak apa-apa, nggak usah ke dokter.”

“Tapi tadi Mas Iyan mimisan banyak banget, kalau---“

“Jio, Mas cuma butuh istirahat aja bentar. Nggak usah takut gitu, Mas nggak apa-apa.”

Jio menghela napas, berusaha yakin pada ucapan kakaknya. “Ya udah, Mas Iyan makan dulu ya? Jio ambilin makan sama sekalian bawain obat penurun panas, soalnya badan Mas Iyan masih panas banget.”

Zay mengangguk, lantas membiarkan Jio keluar dari kamarnya. Lelaki itu tersenyum lega karena Tuhan menghadirkan Jio di sekeliling orang yang selalu berusaha menjatuhkannya. Meski anak itu seringkali bersikap kekanakan, setidaknya Zay bersyukur karena di rumah ini ada Jio yang menyayanginya dengan tulus.

***

“Muka lo kenapa?” Ghava akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada seorang yang duduk di hadapannya. Luka lebam di wajah Zay sebenarnya telah menyita perhatiannya sejak pagi. Daripada hanya diam berdua tanpa topik obrolan, akhirnya Ghava melemparkan pertanyaan tadi.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang