06-Selisih Paham

2.5K 340 37
                                    

Ghava dan Zay kini sudah duduk di sofa ruang guru, menunggu Pak Wayan yang masih tampak sibuk melakukan sesuatu di meja kerjanya. Tak lama, seseorang yang mereka yakini sebagai adik kelas 10 datang dan bergabung dengan mereka.

“Mau ketemu Pak Wayan juga?” tanya Zay yang berada paling dekat dengan adik kelas itu.

“Iya, tadi katanya suruh ke sini. Kalian juga?”

Zay mengangguk dengan senyum ramah yang terpatri di wajahnya. Tiada pembicaraan lebih hingga Pak Wayan datang dan mengambil tempat di depan mereka. Hanya Ghava yang saat ini menunjukkan raut lempeng, seolah tak begitu penasaran dengan hal yang akan Pak Wayan sampaikan pada mereka.

“Maaf, tadi saya ada urusan sedikit. Langsung saja ya biar kalian juga ada waktu istirahat.” Pak Wayan tampak menghela napas, memosisikan diri senyaman mungkin sebelum melanjutkan, “begini ... sekitar dua bulan lagi akan ada seleksi OSN-K. Setelah mempertimbangkan, saya memutuskan memilih kalian untuk mewakili sekolah di OSN bidang Matematika. Kalian bersedia, ‘kan?”

Tak ada yang langsung menjawab perkataan Pak Wayan. Mereka tampak berpikir dan masih mencerna.

“Kenapa nggak Audy dan saya saja, Pak?” tanya Ghava, membuat Zay merasa sedikit berkecil hati mendengar sirat penolakan dalam perkataan Ghava.

“Sekolah sepakat untuk mengirimkan tiga perwakilan. Jadi saya pilih Chatra sebagai perwakilan kelas 10, terus kamu dan Zayyan untuk perwakilan kelas 11. Kenapa bukan Audy, karena saya melihat potensi besar di Zayyan. Bu Yuswi juga ingin mengikutkan Audy ke bidang Astronomi saja karena dia punya potensi lebih di sana.”

“Tapi kan tahun sebelumnya Audy di MTK, Pak. Dia juga lolos sampai provinsi waktu itu. Pasti sekarang udah lebih terasah lagi kemampuannya, toh dia juga lebih terbiasa ngerjain soal-soal olimpiade daripada Zay.”

Pak Wayan tampak menghela napas berat, sedikit tak menduga jika Ghava akan menyangkal keputusannya seperti ini. “Kalau kamu mau Audy masuk di MTK nggak apa-apa, biar dia sama Zayyan saja yang mewakili kelas 11.”

“Bukan begitu maksud saya ....”

“Ghava, saya memilih Zayyan buat jadi partner kamu dan Chatra itu bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Kalau kamu bilang Zayyan nggak terbiasa dengan soal-soal olimpiade, nggak mungkin ulangan kemarin dia dapet 100. Zayyan ini udah pernah ikut sampai tingkat nasional waktu SMP, jadi kamu nggak usah khawatir.”

Ghava dibuat bungkam semata. Ia merasa tak punya lagi argumen untuk menyangkal keputusan Pak Wayan. Ghava tak pernah berniat untuk meremehkan kemampuan Zay. Ia hanya sedikit terprovokasi oleh perasaan pribadinya sendiri.

Ghava hanya tak ingin berurusan dengan Zay. Namun, ia juga tak bisa mengalah dengan mundur dari kesempatan berkompetisi yang Pak Wayan beri.

“Saya bersedia, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa,” ucap Zay selagi berusaha melupakan kata-kata yang dituturkan oleh Ghava. Sebenarnya, ia tak suka jika ada orang yang meremehkan kemampuannya. Maka, mulai detik ini Zay akan memperlihatkan pada Ghava bahwa ia juga punya ambisi besar seperti yang lelaki itu punya. Ia jelas tak akan mengalah begitu saja.

“Saya juga bersedia, Pak. Kapan mulai latihannya, terus waktunya setiap hari apa, Pak?” tanya Chatra yang juga tak kalah antusias.

Pak Wayan tertawa kecil. “Semangat sekali kamu. Masalah jadwal latihan saya percayakan ke Ghava, silakan mau dibuat bagaimana. Nanti nggak akan selalu saya dampingi. Kalian bisa belajar bareng, saling diskusi soal-soal, tapi nanti saya juga akan minta waktu untuk masuk dan mengarahkan kalian. Beberapa kali mungkin saya juga akan datangkan dosen untuk mengajar kalian. Paham, ya?”

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang