15-Gara-Gara Ethan

2.1K 315 7
                                    

Jam menunjukkan hampir pukul 8 malam ketika Zay dan Rakha tengah mengobrol di teras asrama. Niat mereka untuk melaksanakan salat berjamaah di masjid, malah jadi berlarut-larut hingga sekarang. Perbincangan yang mereka lewati seolah mengikis ingatan tentang waktu.

Satu yang kini Zay sadari, Rakha ternyata tak seburuk itu untuk dijadikan teman berbagi. Kendatipun kesabarannya setipis tisu dan hobi marah-marah, ada titik di mana Rakha bisa menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Bahkan Zay pun tak sadar, entah berapa banyak hal yang telah ia ceritakan pada Rakha. Temannya itu membuat Zay bersikap lebih terbuka.

Ditemani satu cup es krim di tangan masing-masing, mereka saling melemparkan cerita. Tentang sekolah, keluarga, masa lalu, dan topik pembicaraan lain seperti yang dilakukan remaja pada umumnya.

Ketika es krim miliknya habis dan obrolannya dengan Rakha terjeda, Zay tiba-tiba teringat sesuatu. Setelah berpikir beberapa saat, Zay pada akhirnya membawa Rakha pada pembicaraan tentang Ghava.

"Btw, kamu kenal Ghava dari kapan, Kha?"

Rakha seketika mengerutkan kening. "Ngapain tiba-tiba jadi bahas Ghava?"

"Saya sebenernya lagi penasaran sama sesuatu, pengin mastiin aja."

Rakha menghela napas, ia jadi turut penasaran. "Baru kenal pas masuk SMA, sih. Kenapa emang?"

"Kamu tau nggak, Ghava itu berapa bersaudara?"

Rakha tampak berpikir, sampai akhirnya memberikan sebuah gelengan. "Asal lo tau Zay, dia itu kek manusia paling tertutup yang pernah gue kenal. Keknya satu kelas juga nggak ada yang tau tentang kehidupan dia. Dulu tuh waktu pertama kali masuk, Ghava anaknya lebih pendiem, lebih dingin, lebih nyeremin daripada sekarang. Nggak kesentuh sama sekali."

"Oh, ya?"

Rakha mengangguk, menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulut sebelum melanjutkan, "Dia kek nggak mau temenan sama siapa pun. Bahkan duduk pun minta sendiri, sampai kita-kita nganggep di bangku sebelah Ghava yang sekarang jadi tempat lo itu, tadinya diisi sama temen gaibnya Ghava."

Zay tertawa, tak menyangka jika orang-orang akan menilai Ghava seperti itu. "Sembarangan banget."

"Serius njir, soalnya tuh anak kalo ada yang nempatin bangku kosong itu bawaannya senggol bacok. Nggak tau juga kenapa waktu itu dia iyain aja pas lo duduk di situ. Soalnya biasanya dia bakal kekeh dan ngebantah siapa pun yang berani ngatur dia."

"Tapi dia keknya nurut aja kalo kamu udah ngegas."

"Mungkin karena gue lebih keras dari dia, deh. Gue sadar kok kalo sesekali kata-kata gue emang nyelekit, dan kalo nggak ada yang ngalah antara gue sama Ghava, udah pasti kita bakal baku hantam. Atau mungkin juga karena selama ini, yang mau nemenin dia cuma gue sama Ethan, jadinya dia mau ngalah kalo sama gue."

"Ghava ... se-enggak punya temen itu?"

Rakha mengangguk. "Gue sama Ethan selalu kesian kalo lihat dia ngapa-ngapa sendiri, makanya kita suka ngintilin dia. Walaupun kadang mukanya sinis, tapi dia nggak pernah terang-terangan nolak. Dari situ gue sama Ethan sadar kalau dia juga sebenernya butuh ditemenin."

Zay tak salah menjadikan Rakha sebagai teman. Mengingat bagaimana Rakha dan Ethan menyambutnya dengan baik saat ia pertama kali masuk sekolah, Zay tak heran jika mereka bahkan memikirkan Ghava yang kesepian.

"Saya pikir kamu tau kalau dia punya saudara."

"Iya, kah? Gue pikir dia anak tunggal, soalnya beneran nggak pernah nyingung soal keluarga. Tapi kenapa deh, lo tiba-tiba nanyain soal Ghava?”

Zay menggeleng samar. Tadinya ia ingin menyanyakan soal saudara Ghava kepada Rakha. Namun melihat Rakha bahkan tak tahu kalau Ghava memiliki saudara, Zay mengurungkan niatannya. Kalau Ghava saja tak menceritakan persoalan itu pada siapa-siapa, rasanya tak pantas jika Zay membicarakan hal ini dengan Rakha.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang