18-Nasihat

2.3K 305 52
                                    

"Maaf ya, Om kemarin ada kerjaan di luar kota. Baru bisa ke sini. Kemarin Dokter Lingga kabarin Om kalau kamu drop. Kenapa bisa, sih? Obat yang Om kasih waktu itu diminum teratur, kan? Atau kamu terlalu forsir tenaga di sana? Atau obatnya udah habis? Atau gimana ceritanya, coba jujur."

Zay menghela napas mendengar rentetan kalimat yang Gatra ucapkan. "Pelan-pelan, Om."

"Ya udah, cepet cerita."

"Keknya kecapekan aja, sih."

"Tapi kondisi kamu katanya parah waktu dibawa ke sini. Kadar hb sama trombositnya turun drastis. Memarnya jadi makin banyak aja tuh kan." Gatra menunjuk bercak merah di lengan Zay yang bermunculan cukup banyak.

"Udah dikasih transfusi, kok. Tapi Om, kemarin rasanya emang kayak mau mati. Sampai sesek banget dadaku kayak ditimpa gajah. Kenapa, ya?"

"Kata Dokter, dugaan sementara karena hb jauh di bawah normal. Terus Dokter saranin kamu buat jalanin pemeriksaan menyeluruh, takutnya ada penyebab lain. Tapi tantemu malah nggak nyetujuin. Udah nggak bener orang itu, Zay. Pokoknya habis ini kamu siap-siap buat pemeriksaan, jangan sampai kita terlambat tau kalau emang ada kemungkinan buruk. Om juga udah minta buat pindahin kamu ke ruang VIP aja. Nggak usah dipikirin, Om yang tanggung biayanya nanti."

Zay menatap langit-langit ruangan dengan pandangan menerawang. Setiap kali bertemu Gatra, Zay rasanya seperti berada di antara percaya dan tidak percaya. Ia yang tadinya bertanya-tanya tentang kesialan hidup, berbalik menjadi penuh syukur karena Gatra ada di sisinya. Dan di saat seperti ini, rasanya sangat tidak tahu diri jika Zay memiliki angan untuk menyerah saja. Ada Gatra yang selalu di sampingnya, menopang hidupnya yang nyaris runtuh dengan segala kebaikan yang pria itu punya.

"Makasih ya, Om. Zay nggak tau bakal gimana kalau nggak ada Om." Zay menyesal sebab dulu selalu ingin mengusir Gatra dari pandangan matanya. Ia buta akan kepedulian sosok itu yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaannya.

"Habis ini nggak usah pulang ke rumah kamu dulu, ya? Tinggal sama Om."

Zay lekas menoleh pada Gatra yang duduk di kursi sebelah ranjang. Ia terlalu terkejut dengan ucapan pria itu. "Tapi, Om ...."

"Cukup ya, Zay. Udah cukup kamu selama ini sabar sama kelakuan om dan tantemu. Sekarang kamu fokus sama diri kamu, sama kesehatan kamu. Tinggal sama mereka cuma bikin kamu makin sakit, Zay."

"Tapi ... Jio gimana, Om?" ucap Zay dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar. Ia mati-matian menahan agar suaranya tak bergetar. Karena sungguh, Zay sangat lemah jika membahas persoalan ini. Terlalu banyak hal yang ia takutkan.

"Zay, Jio itu tinggal sama orang tuanya. Kamu jangan terlalu khawatirin dia."

"Tapi Om Komar masih suka kasar ke dia. Kalau Zay nggak ada, mungkin dia bakal lebih sering pukulin Jio. Zay nggak bisa biarin Jio tinggal sendiri sama mereka."

Gatra seketika menahan murka. Ia tak tahu jika Komar masih sering bermain tangan. Padahal dulu, pria itu pernah dijebloskan ke penjara karena hal serupa.

"Dia bahkan masih suka kayak gitu ke kalian? Tenang, nanti Om urus biar manusia itu lumutan di penjara. Ajak adik kamu, secepatnya kita bikin laporan ke kantor polisi. Udah nggak bener, Zay, jangan dibiarin makin menjadi setan kayak dia. Bisa-bisanya sih kamu diem aja selama ini?" Gatra geleng-geleng kepala. Ia tak bisa membayangkan menjadi Zay yang tinggal dengan jenis manusia paling buruk yang pernah ia tahu.

"Iya, tapi kasih Zay waktu buat bikin Jio ngerti. Om tau sendiri dia anaknya gimana."

"Jangan kelamaan, Om udah gedek banget."

"Sabar, Om."

"Sabar juga ada batesnya, Zay."

Zay tersenyum kecil. Sepertinya Gatra benar-benar emosi. "Iya, Om. Zay istirahat dulu bentar, nggak pengin mikirin apa-apa."

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang