39-Renggang

2K 298 34
                                    

Sejak Zay tidak ada di rumah, Ghava merasakan perbedaan yang sangat kentara. Ia menjadi enggan berada di rumah sebab tiada lagi kehangatan seperti sebelumnya. Kedua orang tuanya makin terang-terangan menciptakan jarak. Situasi seperti ini belum sepenuhnya dapat Ghava terima. Bahkan perginya Zay masih meninggalkan rasa tidak rela dalam hatinya.

Ghava mencoba melewati hari demi hari dengan sebaik yang ia bisa. Acap kali ada perasaan ingin menyusul Zay, tetapi Ghava selalu meyakinkan diri untuk tidak egois. Ia memaksa diri untuk terlihat tabah, meski di dalamnya ada perasaan mengganjal yang ingin sekali ia lampiaskan.

"Ghava ...."

Mendengar panggilan ibunya, Ghava hanya menoleh sekilas ke arah pintu. Ia kemudian melanjutkan kegiatan belajarnya yang entah sudah berapa jam. Hanya soal-soal olimpiade yang saat ini dapat Ghava gunakan untuk mengalihkan pikiran buruknya. Akhir-akhir ini, ia bahkan baru bisa tidur jam 3 pagi. Ia menghabiskan malam hanya untuk menguraikan isi pikirannya yang dipenuhi oleh kekhawatiran.

"Makan dulu, Gav. Kata Bibi kamu dari pagi belum makan," ucap Tari seraya berjalan mendekati Ghava. Ia khawatir ketika mendengar jika akhir-akhir ini Ghava sering melewatkan jam makan. Padahal anak itu punya riwayat GERD yang cukup parah. Terlebih lagi, Ghava seperti sedang banyak sekali tekanan. Tari menyesal karena tidak memperhatikan Ghava sesering dulu. Anak itu pun selalu menghindarinya sejak Zay tidak ada di rumah.

"Ghava."

"Bentar lagi OSN. Ghava harus belajar, Ibu jangan ganggu!"

Tari menghela napas lelah. Ia lantas merampas buku-buku di hadapan Ghava dan melemparnya asal di atas meja belajar. "Mau sampai kapan kamu kayak gini ke Ibu? Sampai kapan mau menghindar dari Ibu?"

"Sampai Ibu bisa bawa Zay balik ke sini dan bersikap baik ke dia."

"Ghava, tolong jangan bahas itu terus! Ini udah hampir sebulan tapi kamu belum bisa terima? Harus berapa kali kita kasih kamu pengertian? Zay lagi berobat. Kita bakal bawa dia balik, tapi nanti. Tolong sabar sedikit lagi. Jangan terus-terusan mikirin soal itu sampai lupa segalanya! Hidup kamu nggak berputar cuma di dia, Ghava."

Ghava tak lantas menjawab. Hanya menatap kosong pada tembok dan tak mencoba mencerna sedikit pun perkataan ibunya. Lagi pula, Tari tidak akan mengerti. Hanya ia yang bisa merasakan sakit itu, tidak seorang pun memahami apa yang ia rasakan.

"Ibu nggak akan ngerti."

"Makanya bilang biar Ibu ngerti. Jangan seolah-olah kamu nggak punya siapa-siapa lagi, kamu masih punya ibu dan ayah kamu. Bilang ke ke kita, jangan pendam semuanya sendiri, Gav."

"Gimana Ghava mau cerita kalau kalian sibuk berantem? Udahlah, Ibu nggak perlu pura-pura seolah semuanya baik-baik aja. Ghava tau kok hubungan kalian lagi nggak baik. Nggak ada yang bisa Ghava harapin, terserah kalian aja."

Tari hanya dapat terpaku, tak mengira jika Ghava menyadari hubungannya dengan Satya yang memang sedang renggang. "Ibu minta maaf, Gav."

"Iya iya terserah. Lakuin apa pun yang kalian pengin. Ghava nggak peduli." Ghava kembali meraih buku yang sempat Tari singkirkan. Ia membuka-bukanya meski fokus pikirannya bukan di sana. Ada sesak yang tiba-tiba muncul, kesedihan kembali mengungkung hatinya.

"Ibu ambilin makan, kamu harus makan." Setelah mengucapkan itu, Tari keluar dari kamar Ghava.

Tak lama setelah kepergian ibunya, Ghava semakin kacau. Ia tidak bisa lagi untuk fokus pada kertas berisi angka-angka di atas meja. Jantungnya tiba-tiba berdebar dengan kuat, beserta perasaan sedih yang datang semakin hebat. Ghava menarik napas panjang, mengusap dadanya untuk menenangkan diri.

"It's okay, just breathe."

Ghava menatap benda-benda di sekelilingnya, berusaha memfokuskan pikiran dengan menyebutkan apa pun yang ia lihat. Namun, ia panik saat pandangannya terasa berkunang, diikuti sensasi mual dan pening yang baginya tak asing.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang