20-Dia Zayyan

2.3K 292 50
                                    

Hegar mengambil beberapa camilan dari kulkas, kemudian menuju meja makan menghampiri Zay. Lelaki itu mengurungkan niat untuk mandi sebab lebih tertarik mengobrol dengan Zay. Rasanya, ia harus menyediakan banyak camilan karena pembahasan mereka pasti akan panjang. Hegar sudah menyusun banyak pertanyaan setelah Zay berkata jika lelaki itu pun mengenal Ghava.

"Lo tadinya tinggal di Semarang, ya?" tanya Hegar setelah duduk di hadapan Zay. Ia membuka sebuah kotak berisi donat warna-warni dan mengambilnya sepotong. "Donat?"

"Saya udah kenyang. Iya, sebelumnya tinggal di Semarang."

"Tapi nggak ada logat Semarangnya, tuh. Kek orang sini-sini aja."

"Dulu saya lahir di Jakarta, orang tua juga asli sini. Cuma karena ayah saya dipindahtugaskan ke Semarang, jadinya pas umur dua tahun saya pindah. Dari kecil diajak ngomongnya pakai Bahasa Indonesia, sampe gede. Tapi saya paham Bahasa Jawa juga kok, soalnya banyak temen saya bahasa sehari-harinya Bahasa Jawa."

"Bisa nggak sih lo jangan pakai saya saya gitu? Kek apaan banget."

Zay tertawa kecil. "Kebiasaan gini. Kalo ganti gaya bahasa saya berasa harus mikir dulu sebelum ngomong. Males. Nggak cocok juga didenger-denger sama kuping saya."

Hegar berdecak, menggigit donat di tangannya dengan kasar. Ia benar-benar tak suka dengan sebutan saya-kamu yang Zay gunakan.

"Btw, lo bisa kenal Ghava dari mana?"

"Temen sekelas saya."

Hegar seketika tersedak makanannya. Ia segera meraih air minum dan meneguknya untuk melegakan tenggorokan. "Serius? Dunia sempit banget, anjir. Lo di SMA Nusantara, 'kan?"

Zay mengangguk. "Kalau kamu, kenal Ghava di mana?"

"Temen SMP. Bukan temen sih, lebih ke ... musuh." Hegar tertawa mengingat keping demi keping memori masa lalu ketika di bangku SMP.

"Kenapa musuh?"

"Kepo bet lu kek Dora."

"Serius ini. Terus kamu kenal juga sama Ghazy?"

Hegar tak langsung menjawab. Ia  mengamati wajah Zay ketika nama Ghazy kembali disebut-sebut.

"Mirip banget, sumpah. Tapi makin dilihat-lihat, ada bedanya sih. Tapi kalo baru pertama lihat kek beneran mirip. Merinding bet gue. Keknya pepatah yang bilang di dunia ini kita punya 7 kembaran itu ada benernya." Hegar mengusap-usap bulu kuduk di lengannya yang kembali meremang.

"Kamu nggak jawab pertanyaan saya tadi."

"Ck, iya gue kenal. Tapi nggak deket, cuma sekedar tau kalau dia kembaran Ghava."

"Dia meninggal pas kapan kalau boleh tau?"

"Waktu kita kelas 8 SMP, kalo nggak salah inget. Pernah gempar tuh satu sekolah, tragis banget meninggalnya. Emang Ghava nggak pernah cerita?"

Zay menggeleng. "Bahkan nggak ada yang tau kalau sebenernya dia punya saudara."

"Sumpah?"

Zay mengangguk. "Tertutup banget anaknya."

"Ya, nggak ada juga sih alumni sekolah gue yang SMA-nya di Nusantara. Dulu kan si Ghava tinggal di Bogor. Nah kebetulan pas SMP tuh, gue disuruh sekolah asrama di situ sama bokap nyokap, gegara tiap hari gelut mulu sama Keenan. Ternyata sekarang si Ghava udah pindah ke Jakarta. Tau gitu gue daftar SMA di Nusantara, biar bisa tawur lagi sama tuh bocah."

"Kamu suka berantem sama dia?"

"Buat seru-seruan aja, kok. Dia saingan gue di kelas, tapi emang kadang ngajak baku hantam. Tanggal 26 ada OSK di sekolah lo, 'kan? Gue ikut, btw. Ghava ikut nggak? Pasti ikut sih kata gue."

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang