24-Apakah Benar Dia?

2.5K 350 94
                                    

"Dari hasil pemeriksaan fisik, semuanya normal. Gejala yang putra Anda alami lebih mengarah pada gangguan psikosomatis, yang bisa dipicu karena kondisi stress atau sedang banyak pikiran. Apa akhir-akhir ini, Ghava sedang banyak tekanan, Pak?"

Satya menghela napas mendengar penjelasan dokter yang cukup hafal dengannya. Beberapa kali jika Ghava harus dilarikan ke IGD, dokter itu yang kerap menangani Ghava.

"Beberapa minggu ini memang sedang hectic dengan persiapan lomba, Dok. Selain itu, Ghava tidak pernah cerita tentang hal lain yang mungkin sedang mengganggu pikirannya. Tapi memang beberapa kali saya lihat dia seperti sedang menghadapi masalah. Kelalaian saya yang kurang tanggap dengan kondisi Ghava."

"Saya sarankan, Ghava bisa bertemu dengan psikiaternya untuk melakukam konsultasi terkait kondisi psikisnya. Mengingat kalau Ghava punya riwayat PTSD, saya khawatir kondisi psikis Ghava sedang ada di fase buruk. Terlebih pribadi Ghava yang tertutup, sehingga kita tidak menyadari sejak lama. Didampingi terus putranya, Pak, coba kasih pengertian untuk lebih terbuka."

Satya mengangguk. "Terima kasih banyak, Dok."

Setelah dokter menyelesaikan penjelasan terkait kondisi Ghava, Satya kembali menghampiri istrinya yang masih setia duduk di samping ranjang. Wanita itu menggenggam lembut jemari Ghava dengan wajah sendu yang tampak begitu kentara.

"Kok Ghava belum bangun juga ya, Mas?" ucap Tari ketika menyadari sentuhan hangat Satya pada pundaknya. Tatapan wanita itu masih terpusat pada wajah tenang Ghava, yang di baliknya seolah menyimpan setumpuk luka.

"Biarin istirahat dulu, Sayang. Dokter bilang Ghava udah lebih baik, kok."

Tari berusaha percaya bahwa Ghava memang baik-baik saja. Meski dalam hati, wanita itu tak henti bertanya-tanya tentang alasan mengapa Ghava bisa sampai seperti ini.

"Jev masih di depan, Mas?" Kini Tari menolehkan wajah pada suaminya.

"Enggak. Aku mau ketemu sama dia dulu, aku tinggal sebentar nggak apa-apa ya?"

Tari mengangguk. Setelahnya, Satya keluar dari ruangan dan mengambil ponselnya di saku jas yang ia kenakan. Tak seperti biasanya, wajah teduh pria itu seolah menyimpan semburat amarah. Dalam perjalanannya menyusuri koridor rumah sakit, Satya menghubungi Jev lewat sambungan telepon.

"Ke rumah. Sekarang." Singkat, sebelum Satya memutuskan sambungan telepon dan bergegas menuju rumah.

***

Begitu mendengar pintu ruang kerjanya terbuka, Satya lekas berjalan cepat mendekati seorang yang sedari tadi ia tunggu. Pria itu menarik kerah kemeja Jev dengan kedua tangan, menyentak tubuh sepupunya itu hingga punggung Jev menempel pada pintu yang kembali tertutup.

Jev pasrah. Ia tahu, kesalahpahaman seperti ini pasti akan terjadi. Di balik sorot mata Satya, Jev dapat menemukan kemarahan yang bercampur dengan kekalutan. Jev tak akan menghindar jikapun Satya berniat melayangkan sebuah pukulan padanya. Meski ia juga tahu, Satya tak akan bertindak sejauh itu.

“Sejak kapan kamu kenal dia?” tanya Satya penuh ketegasan, menuntut penjelasan.

“Sekitar dua minggu lalu, Bang. Dia anak yang Ghava antar ke rumah sakit waktu pulang dari Bogor.”

Mendengar jawaban itu, cengkeraman Satya pada kerah kemeja Jev perlahan mengendur. Beberapa saat kemudian, benar-benar terlepas. Ingatan Satya seolah ditarik mundur pada waktu itu. Ketika ia menunggu kepulangan Ghava yang telat, juga saat anaknya itu justru pulang sendiri dalam kondisi tak baik. Tak ia sangka jika pada hari itu pula, Jev bertemu dengan Zay.

“Kenapa nggak langsung kasih tau Abang? Kenapa kamu diem aja sampai sekarang? Kalau aja tadi Abang nggak ketemu dia, kamu bakal sembunyiin ini sampai kapan, ha?!”

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang