43-Penyesalan

2.6K 319 56
                                    

Zay baru saja sampai di rumah sakit bersama Gatra. Ia berjalan cepat menuju IGD dengan rasa cemas yang belum beranjak. Air mata masih mengalir di wajah, pikirannya hanya tertuju pada Ghava. Ia bahkan sama sekali tak memperhatikan langkahnya, sampai beberapa kali nyaris terjatuh. Untunglah Gatra sigap untuk meraih tubuhnya dan menggandeng tangan anak itu sepanjang jalan.

Tangis histeris ibunya kembali terdengar saat Zay sampai di depan IGD. Ibu dan ayahnya memang lebih dulu sampai sebab ikut dalam ambulans yang membawa Ghava. Sementara ia datang bersama Gatra, sedangkan Luvita mengajak ketiga anaknya kembali ke rumah. Rencana liburan yang Zay susun pada akhirnya gagal. Zay tak pernah mengira bahwa semua akan berakhir seperti ini.

Beberapa waktu lalu, Zay nyaris putus asa melihat tubuh Ghava yang tak jua memberi respons. Sampai, Ghava memberikan harapan bagi semua orang dengan reaksi tubuhnya setelah mendapatkan pertolongan pertama. Lelaki itu terbatuk dan memuntahkan air yang memenuhi paru-paru, beberapa saat sebelum ambulans datang. Kondisinya memang masih sangat mengkhawatirkan, tetapi Zay tak ingin berburuk sangka pada Tuhan. Ia tak henti berdoa untuk keselamatan Ghava.

Zay melepas tangan Gatra yang menumpu tubuhnya. Ia kemudian mendekati Tari yang terduduk lemas dalam pelukan Satya. Tangis ibunya terdengar sangat menyakitkan, dan Zay tak ingin mendengar itu lebih lama. Zay terduduk di depan ibunya, lantas meraih tangan wanita itu untuk ia genggam. Satu tangan lain ia gunakan untuk mengusap air mata di wajah Tari.

"Ghava pasti baik-baik aja, Bu." Zay paham betul bahwa itu hanya ucapan klise yang mungkin tak akan membuat Tari lebih baik. Namun, Zay juga tidak ingin melarang ibunya untuk bersedih, karena Zay paham betul betapa hancur Tari saat ini.

"Ibu boleh peluk Zay kalau Ibu mau." Zay menatap sepasang manik mata ibunya, lantas semakin mendekat ketika Tari mengulurkan tangan dan mendekap erat tubuhnya.

"Maafin Ibu, Zay ... maaf buat semua yang Ibu lakuin ke kamu." Tari terisak hebat dalam dekap putranya. Penyesalan demi penyesalan semakin menyerbunya dengan brutal. "Ibu udah jahat ke kalian, Ibu udah hancurin hidup kalian. Ibu minta maaf."

Zay mengusap punggung ibunya yang terguncang hebat. "Zay udah bilang kan kalau Zay udah maafin Ibu. Ibu harus kuat demi Ghava. Ghava butuh Ibu dan doa-doa Ibu."

"Jangan tinggalin Ibu, Zay. Ibu menyesal, Ibu udah jahat banget. Tapi tolong jangan pernah tinggalin Ibu, Ibu nggak sanggup."

Zay hanya membiarkan ibunya berbicara tanpa menjawab apa pun. Ia tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Ia tidak ingin memberi janji sebab takut jika suatu saat ia akan mengingkarinya.

Beberapa waktu kemudian, pintu IGD terbuka menampilkan seorang dokter dengan raut wajah yang cukup kacau. Melihatnya, jantung Zay kembali berdetak kencang. Satya langsung menghampiri dokter IGD yang cukup dikenalnya itu. Zay membantu ibunya berdiri untuk mendengarkan penjelasan dari dokter dengan harap-harap cemas.

"Gimana kondisi Ghava, Dok?"

Dokter itu tampak menghela napas, memandang orang-orang di depannya dengan tatapan iba. "Saat ini kondisinya belum bisa dikatakan baik, masih harus dilakukan pemantauan ketat. Berdasarkan hasil pindai toraks, ditemukan adanya pembengkakan pada paru-paru akibat penumpukan cairan. Syukurlah pertolongan pertama yang diberikan sudah cukup baik dan menghindari dampak lebih buruk. Pemeriksaan lanjutan juga akan dilakukan untuk mengetahui apakah ada komplikasi yang mungkin terjadi. Setelah ini, Ghava akan dirawat di ruang ICU sampai kondisinya membaik, Pak."

Satya sedikit merasa lega mendengar bahwa putranya masih bisa diselamatkan. Jikapun ke depannya kondisi Ghava tak lagi sama, tak apa asalkan Ghava masih ada bersamanya. Ia tak akan lelah mengemis pada Tuhan untuk hidup lebih lama bersama kedua putranya.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang