28-Menghindar

2.1K 319 52
                                    

Ghava sangat senang ketika Zay akhirnya setuju untuk pulang ke rumah mereka. Ia berhasil meyakinkan Zay bahwa semua akan baik-baik saja dan mereka bisa tinggal bersama sebagai keluarga. Malam ini, ia dan sang ayah datang ke rumah Gatra untuk menjemput Zay pulang.

Semua anggota keluarga Gatra kini berada di teras, termasuk Keenan yang pada dasarnya sangat cuek. Ia bahkan rela membantu membawakan barang-barang Zay dari lantai atas bersama Hegar. Sementara si kecil Putri kini tengah menangis di gendongan ibunya, menyembunyikan wajah pada ceruk leher Luvita meski orang-orang berusaha mengambil perhatiannya.

"Sttt, udah jangan nangis terus, Dek. Kak Zay kan bisa main ke sini lagi nanti, atau nanti sama Bunda main ke rumah Kak Zay. Iya kan, Kak?" Luvita menatap Zay, meminta bentuk afirmasi dari lelaki itu meski Putri tak melihatnya.

"Iya, Dek. Nanti Kakak bakal sering main ke sini, kok. Atau Adek mau ikut Kakak aja, yuk. Jadi adiknya Kakak beneran, mau nggak?" canda Zay sembari mencari-cari wajah Putri meski anak itu langsung menghindar untuk menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata. Zay tertawa kecil melihat bocah itu yang sepertinya benar-benar ngambek. Ia jadi sedikit tidak enak hati.

"Udah nggak apa-apa, ntar juga biasa lagi. Emang lagi sedih aja ini anaknya," ucap Luvita ketika melihat wajah Zay yang seolah menyimpan rasa bersalah. Ia mengangguk meyakinkan, kemudian mengisyaratkan Zay untuk lekas bersiap karena Satya dan Ghava sudah cukup lama menunggu.

"Om Gatra, Zay pamit ya? Makasih udah mau nampung Zay di sini, nanti Zay bakal sering berkunjung kok."

"Harus, lah!" Gatra tersenyum hangat, mengusap puncak kepala Zay dengan sayang. "Jaga diri baik-baik, jangan sungkan hubungi Om kalau butuh bantuan."

Zay mengangguk, kemudian memeluk Gatra dengan begitu erat seolah hanya itu yang bisa ia berikan untuk membalas kebaikan pria itu. "Makasih, Om. Makasihhh banget. Zay nggak tau harus bales kebaikan Om dan keluarga Om pakai cara apa, tapi intinya makasih banget ya, Om."

Gatra membalas pelukan Zay dengan senyum yang tak jua luntur. "Baik-baik ya sama keluarga baru kamu. Mungkin nanti butuh adaptasi, tapi Om harap Zay bisa berlaku sebagai anak yang baik kayak waktu Zay tinggal sama ayah dan bunda Zay dulu. Bisa?"

Zay mengangguk. "Bisa, Om."

"Udah, Zay, bokap gue itu kalo lo lupa." Hegar menyahut ketika melihat Zay tampak begitu nyaman dalam pelukan ayahnya. Padahal seumur-umur ia tidak pernah melakukan hal semacam itu dengan ayahnya.

Zay terkekeh sebelum melepaskan pelukan dengan Gatra. Beralih menatap kakak beradik yang berdiri bersisian di sebelah Gatra. "Makasih juga Hegar dan Keenan, walaupun kalian jail banget terutama Hegar, tapi saya makasih banget karena kalian udah nerima saya di sini."

"Iya aja, dah. Akhirnya kuping gue terbebas dari sebutan saya-kamu yang menjijikan itu."

"Loh, kan kita masih bakal sering ketemu. Lupa kalau tanggal 12 ada pelatihan OSN bareng?"

Mendengar itu, Hegar memutar bola matanya malas. "Serah, deh. Baek-baek lo, biar bisa gue jailin lagi kalo ketemu."

"Abang ...."

Hegar tertawa mendengar suara bundanya yang sudah seperti alarm tanda bahaya. "Bercanda doang, Bun," ucapnya sembari mengangkat jarinya membentuk huruf V.

"Udahan deh pamitannya, udah ditunggu banget pasti sama ayah kamu, sama Ghava." Gatra menginterupsi acara pamit-pamitan yang sudah cukup panjang itu. Padahal juga Zay tak pergi sejauh itu, masih bisa dijangkau kapan saja.

Satya yang masih berada di sana dan menyaksikan perbincangan itu, sedari tadi tak henti tersenyum. Ia bersyukur karena Tuhan menjaga putranya di dekat orang-orang baik seperti keluarga Gatra. Meski Gatra sempat menceritakan soal om dan tante Zay yang tidak begitu baik, Satya pastikan orang-orang itu tak akan berani menyentuh putranya setelah ini.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang